Urgensi Keberlanjutan Pemberantasan Korupsi: Restorasi Tata Kelola Partai Politik

by -
Foto Ilustrasi. (Net)

Meskipun pembangunan infrastruktur substansi-kelembagaan hukum dibangun secara masif, akan tetapi dalam realitasnya justru praktik korupsi menunjukkan tren yang cenderung meningkat pasca reformasi. Korupsi semakin meluas dan merusak. Menurut penulis, ada satu hal yang kita lupakan yakni membangun infrastruktur tata kelola partai politik. Partai politik adalah instrumen politik yang memiliki kekuasaan besar dalam tata pemerintahan. Partai politik memiliki wewenang mengusung dan mengajukan public elected yakni legislatif (DPR dan DPRD) dan eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota) yang merupakan pihak yang memiliki kekuasaan terkait regulasi, kebijakan, dan pengelolaan anggaran.

Partai politik dapat memiliki fraksi di DPR dan DPRD yang menentukan kebijakan pusat dan daerah, Partai politik berwenang mengajukan calon legislatif maupun eksekutif pada pemilu/pilkada, partai politik dapat melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) kepada anggota legislatif mereka, partai politik dapat mengirim anggotanya menjadi menteri. Semua itu menjadi bergaining transaksional yang kuat bagi partai politik dalam memobilisasi kuasanya untuk meminta feedback politis terhadap anggotanya yang akan duduk maupun yang telah duduk di legislatif maupun eksekutif berupa praktik mahar politik dan setoran politik.

Kultur inilah yang menyebabkan iklim politik praktis memiliki biaya tinggi sehingga sangat rentan terhadap praktik korupsi. Dalam praktiknya, anggota legislatif/eksekutif yang diusung oleh parpol, telah mengeluarkan biaya untuk mahar politik (tiket kontestasi), politik uang kemudian setoran politik (balas budi), mengingat pendapatan resminya tidak sebanding dengan cost politik yang dia keluarkan, maka ketika menjabat kemudian akan terjadi mobilisasi kekuasaan untuk melakukan praktik korupsi. Merujuk data KPK, sejak tahun 2004 hingga Juli tahun 2023, 3 aktor yang paling banyak terlibat korupsi adalah swasta sebanyak 399 kasus dan 404 tersangka, ASN sebanyak 349 kasus dan 351 tersangka, dan anggota legislatif (DPR/DPRD) sebanyak 344 kasus dan 344 tersangka. Pelaku korupsi swasta disini berkaitan erat dengan praktik korupsi yang melibatkan eksekutif maupun legislatif, yakni suap/gratifikasi dalam pengadaan barang dan jasa. Selanjutnya, menurut data KPK, sejak tahun 2004 hingga 2022 terdapat 176 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi (22 gubernur dan 154 walikota/bupati). Kemudian, sejak pasca reformasi terdapat 12 Menteri yang terjerat kasus korupsi, 11 diantaranya berasal dari partai politik. Data ini merefleksikan ada relasi erat antara parpol dengan praktik korupsi. Konkritnya, buruknya tata kelola partai politik menjadi akar tumbuhnya korupsi.

Parpol memiliki kekuasaan yang begitu besar namun tidak didukung sistem akuntabilitas yang memadai diantaranya terkait anggaran dan pertanggungjawaban. Anggaran untuk pengelolaan partai politik sangat besar akan tetapi sumber pendanaannya dari APBN sangat terbatas. Pada tahun 2023, anggaran yang dikucurkan melalui APBN untuk dana bantuan parpol sebesar Rp 126 miliar yang dibagi untuk 9 parpol yang memiliki wakil di DPR RI. Jumlah ini sangat tidak proporsional dengan kekuasaan parpol yang sangat fundamental bagi tata pemerintahan. Inilah yang kemudian menjadi causa parpol memainkan peran transaksional untuk mendapatkan anggaran via praktik korupsi dari anggota-anggotanya di eksekutif/legislatif.

Berikutnya, pertanggungjawaban parpol juga sangat minim, praktik politik uang yang merajalela dalam setiap kontestasi politik yang merupakan akar dari praktik korupsi dan setoran politik hasil korupsi pada parpol, tidak disertai konsekuensi tanggungjawab apapun terhadap parpol. Maka dari itu, concern terhadap restorasi tata kelola partai politik harus diperkuat sebagai basis mitigasi untuk mencegah korupsi.

Restorasi Tata Kelola Partai Politik

Jon ST Quah dalam buku Curbing Corruption In Asian Countries, An Impossible Dream (2013) mengatakan bahwa korupsi akan selalu tumbuh subur manakala pemimpin politik atau pembuat kebijakan publik tidak memiliki kehendak politik untuk memimpin pemberantasan korupsi. Maka langkah pertama untuk merestorasi tata kelola parpol adalah adanya pollitical will yang kuat dari pembuat kebijakan dalam hal ini Presiden sebagai kepala negara. Ada beberapa kebijakan yang dapat ditransplantasi untuk merestorasi tata kelola parpol guna mendukung mitigasi praktik korupsi.
Pertama, formulasi pertanggungjawaban pidana partai politik. Partai politik pada hakikatnya merupakan badan hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Sayangnya, dalam praktik, partai politik tidak pernah tersentuh, baik karena faktor yuridis maupun intervensi politis.

Praktik politik uang dan korupsi dari legislatif/eksekutif jika diusut tuntas, pasti bermuara pada tanggungjawab parpol, sayangnya hal itu tidak pernah diungkap secara komprehensif. Oleh sebab itu, diperlukan revisi terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi maupun Undang-Undang Parpol, untuk menambahkan sanksi pidana pokok terhadap parpol jika terlibat dalam korupsi dapat dijatuhi pidana berupa pembekuan sementara waktu dan diskualifikasi untuk dapat ikut dalam Pemilu/Pilkada dalam jangka waktu tertentu, klasifikasi sanksi ditentukan dari dominasi peran parpol dan jumlah kerugian korupsinya. Selain itu, perlu diatur doktrin vicarious liability, jika terjadi politik uang yang melibatkan anggota parpol maka parpol dapat dikenakan sanksi.

Kedua, pemberian kewenangan KPK untuk mengajukan pembubaran parpol. Menurut Pasal 68 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Parpol, hanya pemerintah yang memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pembubaran parpol ke MK. Kedepan, untuk memperkuat sistem pemberantasan korupsi, maka perlu dilakukan revisi Undang-Undang MK dan Undang-Undang KPK untuk memberikan kewenangan hukum pada KPK sebagai pemohon untuk mengajukan permohonan pembubaran parpol ke MK dengan syarat materil pengulangan korupsi yang dilakukan parpol dan korupsi yang melibatkan parpol secara sistematis dengan kerugian Rp 100 miliar ke atas misalnya.

Ketiga, pendanaan parpol melalui APBN. Hal ini sudah diterapkan di berbagai negara. Parpol sebagai sarana partisipasi politik dengan wewenang yang begitu fundamental dalam tata pemerintahan idealnya pengelolaannya dibiayai oleh APBN secara keseluruhan khususnya parpol yang memiliki wakil di DPR RI. Pendanaan parpol melalui APBN akan meningkatkan akuntabilitas parpol, karena penggunaan anggaran dalam parpol dapat diawasi dan dimonitoring oleh BPK, sehingga praktik meminta setoran politik kepada anggota yang duduk di legislatif/eksekutif secara ilegal yang menjadi causa praktik korupsi akan dapat diminimalisasi.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *