BANGKA – Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Serumpun Sebalai berupa pasir timah memang sangat fantastis nilainya. Bayangkan saja, dalam rentang waktu 2015 hingga 2022, para pelaku Korupsi tata kelola Timah di Babel diungkap telah berhasil menikmati aliran uang korupsi hingga mencapai sekitar Rp.29 triliun lebih, dari kerugian negara sebesar Rp.300 triliun. Fantastis!!!
Hal itu terungkap berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntu Umum (JPU) dalam sidang perdana Perkara Kasus Korupsi Timah Babel di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, Rabu (31/7/24).
Dalam sidang dakwaan tersebut, Jaksa juga mengungkap bagaimana modus para pelaku korupsi yang berkolaborasi dengan oknum para Kepala Dinas ESDM Provinsi Babel dalam menggarong kekayaan alam bumi Serumpun Sebalai ini. Berikut kronolginya;
Pada Februari 2018, terjadi pertemuan di Hotel Novotel Bangka Belitung, antara Alwin Albar dan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dengan sejumlah pemilik smelter, termasuk perwakilan dari PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.
Dalam pertemuan tersebut, Alwin Albar dan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani meminta para pemilik smelter untuk memberikan 5% dari kuota ekspor mereka kepada PT Timah, Tbk. Permintaan ini didasarkan pada fakta bahwa bijih timah yang diproduksi oleh smelter tersebut berasal dari penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah, Tbk.
Kesepakatan tercapai bahwa para pemilik smelter swasta akan mengirimkan bijih timah sebesar 5% dari ekspor mereka kepada PT Timah, Tbk. Untuk mengontrol pengiriman tersebut, dibuat sebuah grup WhatsApp bernama “New Smelter”. Namun, karena beberapa smelter tidak setuju, akhirnya dilanjutkan pada pertemuan di Hotel Borobudur Jakarta pada 26 Mei 2018.
Pertemuan di Hotel Borobudur dihadiri oleh mantan Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman, Kapolda Bangka Belitung Brigjen (alm) Drs. Syaiful Zachri, Direktur Utama PT Timah, Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Harvey Moeis serta para pemilik smelter swasta. Pertemuan tersebut menegaskan kembali bahwa smelter swasta harus mengirimkan bijih timah ke PT Timah, Tbk untuk mendukung kepentingan nasional, meskipun bijih timah tersebut berasal dari penambangan ilegal.
Agar pengiriman bijih timah tersebut terlihat legal, Alwin Albar dengan sepengetahuan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani mencatatkan bijih timah tersebut sebagai produksi dari program Sisa Hasil Penambangan (SHP) PT Timah, Tbk. Pembayaran dilakukan oleh PT Timah, Tbk berdasarkan harga pokok produksi yang telah ditetapkan, dengan perhitungan tonase dan kadar timah.
Namun, pada Juni 2018, pengiriman bijih timah sebesar 5% ini dihentikan karena masih ada smelter swasta yang tidak patuh. Akhirnya Harvey Moeis selaku perwakilan PT Refined Bangka Tinn(RBT) meminta Riza mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah. Setelah beberapa kali pertemuan, kata dia, disepakati kerja sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah di wilayah IUP PT Timah Tbk.
Setelah itu Harvey diduga memerintahkan para pemilik smelter menyisihkan sebagian keuntungan dari usahanya. Keuntungan itu kemudian dibagi untuk Harvey dan sejumlah tersangka lainnya.
Berikut aliran duit korupsi timah yang diungkap jaksa dalam dakwaan dengan total Rp 29.353.872.000.000: