Terindikasi Rugikan Keuangan Negara Hingga Puluhan Miliar, Aktiivis Anti Korupsi Minta Pemda dan Aparat Bertindak Tegas, Ini Kata Humas PT FAL

by -

BANGKA – PT Fenyen Agro Lestari (PT. FAL), saat ini menjadi sorotan dari berbagai elemen masyarakat di Kabupaten Bangka. Pasalnya, perushaan yang bergerak di sektor perkebunan sawit ini diduga kuat membuka area perkebunan tanpa izin resmi alias ilegal. Tidak hanya itu PT FAL juga disebut sebut tidak melaksanakan tanggung jawab sosial kepada masyarakat serta beroperasi tanpa izin lengkap yang ditenggarai menghindari kewajiban pajak kepada negara, sehingga perusahaan PT FAL disinyalir telah merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah.

Namun mirisnya, hingga saat ini Pemerintah Daerah baik Pemrov Bangka Belitung maupun Pemkab Bangka tak kunjung melakukan penindakan secara tegas.

Berdasarkan data pemberitaan di Asatuonline belum lama ini, diketahui jika PT. FAL menguasai lahan perkebunan sawit sebagian besar wilayah Kabupaten Bangka dengan rincian:

Desa Cit, Desa Pugul (Kecamatan Riau Silip), dan Dusun Cungfo, Desa Bukitlayang (Kecamatan Bakam) – 3.068 hektare, berdasarkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) No. 118.45/DINPERTAN/2017 tertanggal 29 Desember 2019.

Desa Kotawaringin, Kecamatan Puding Besar – 1.070,85 hektare, berdasarkan Pertimbangan Teknis Pertanahan (Pertek) No. 34/2023 yang diterbitkan ATR/BPN Kabupaten Bangka pada 7 September 2023.

Namun, PT. FAL diduga melakukan penanaman di Kotawaringin tanpa mengantongi IUP. Ini jelas melanggar Pasal 105 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang secara tegas melarang aktivitas perkebunan tanpa izin dengan ancaman sanksi administratif hingga Rp10 miliar.

PT. FAL juga diduga kuat menghindari pajak dengan berbagai modus yang menggerogoti keuangan negara, di antaranya:

Menghindari pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang seharusnya menjadi pemasukan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bangka.

2. Tidak membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) karena tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU), menyebabkan potensi tunggakan pajak lebih dari Rp10 miliar.

Jika ditelusuri lebih dalam, angka ini bisa membengkak hingga puluhan miliar rupiah. Ini bukan sekadar kelalaian administrasi, tetapi indikasi perampokan terhadap keuangan negara yang semestinya dialokasikan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.