Oleh: Pradikta Andi Alvat
PNS PN Rembang
Denda damai dalam tata hukum Indonesia pertama kali dikenal melalui pemberlakuan Rechten Ordonnantie (Ordonansi bea). Meskipun tidak disebut secara eksplisit perihal denda damai, tetapi dalam Pasal 29 Rechten Ordonnantie dikenal penyelesaian perkara di luar pengadilan (schikking/musyawarah damai), yang kemudian menjadi dasar penerapan denda damai. Pasal 29 Rechten Ordonnantie menyatakan bahwa sepanjang tidak mengenai kejahatan, untuk menghindarkan tuntutan hakim (pengadilan) bagi tindak-tindak pidana sebagaimana diatur dalam ordonansi bea, maka Menteri Keuangan dapat berdamai atau menyuruh berdamai.
Kemudian, menurut SK Men/J.A No.Ie/DKT/A/1962/148, Kejati atau Kejari diberi wewenang oleh Jaksa Agung mengenai penyelesaian perkara di luar pengadilan (schikking) atas perkara penyelundupan yang berbahaya dengan kualifikasi pelanggaran atau atas pertimbangan khusus sehingga perlu diselesaikan di luar pengadilan. Penyelesaian perkara di luar pengadilan terkait delik-delik ekonomi sebagaimana diatur dalam Rechten Ordonnantie pada praktiknya dilakukan dengan pembayaran denda damai yang disepakati oleh Jaksa Agung dan tersangka (Michael Barama, 2011). Setelah pembayaran denda damai, maka perkara tidak akan dilimpahkan ke pengadilan.
Dalam konteks ini, maka denda damai memiliki perbedaan yang segregatif dengan pidana denda. Perbedaannya mendasarnya adalah denda damai dilakukan dalam proses pra-ajudikasi (sebelum dilimpahkan ke pengadilan) dan berfungsi untuk menghentikan pentuntutan perkara ke pengadilan. Sedangkan pidana denda dilaksanakan sebagai bagian akhir dalam proses ajudikasi (sidang pengadilan) dan berfungsi sebagai sanksi pidana terhadap terpidana.
Secara regulatif, aktualisitas denda damai dalam tata hukum Indonesia diatur lebih spesifik dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang merupakan revisi terhadap UU Kejaksaan RI yang lama. Pasal 35 ayat (1) huruf k menegaskan Jaksa Agung dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dalam penjelasan Pasal 35 ayat (1) huruf k UU Nomor 11 Tahun 2021, yang dimaksud dengan denda damai adalah penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung. Penggunaan denda damai dalam hal tindak pidana ekonomi merupakan salah satu bentuk penerapan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung dalam tindak pidana perpajakan, kepabeanan, dan tindak pidana ekonomi lainnya berdasarkan undang-undang.
Contoh kasus pidana aktual yang diselesaikan dengan penerapan denda damai adalah dalam perkara penyelundupan minyak goreng ke luar negeri oleh PT Amin Market Jaya dan CV Amin Market Jaya tahun 2021-2022 yang disidik Kajati DKI Jakarta, yang akhirnya diselesaikan dengan denda damai sebesar 4,8 miliar sebagaimana nominal yang disetujui oleh Jaksa Agung. Dengan demikian, perkara tersebut pun dihentikan penuntutannya berdasarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Nomor: Print-02/M1.11/Ft.1/06/2023 tanggal 9 Juni 2023.
Tinjauan Doktrin Pidana