Oleh: Pradikta Andi Alvat
PNS Pengadilan Negeri Rembang
Tindak pidana pada prinsipnya dapat dibedakan menjadi tindak pidana formil dan tindak pidana materil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang menekankan pada aspek perbuatan yang dilarang bukan pada akibat. Dalam arti, jika perbuatan yang dilarang oleh undang-undang telah dilakukan, maka telah terjadi tindak pidana dan orang yang melakukan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Contoh tindak pidana formil misalnya tindak pidana korupsi. Dalam tindak pidana korupsi, apabila seseorang telah melakukan delik korupsi (ex: memperkaya diri sendiri) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tipikor, maka orang tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, meskipun orang tersebut kemudian mengembalikan uang hasil korupsi. Pengembalian uang hasil korupsi, tidak menghapus pertanggungjawaban pidana.
Sedangkan tindak pidana materil merupakan tindak pidana yang menekankan pada aspek akibat yang dilarang dari suatu perbuatan. Tindak pidana baru terjadi, jika aspek akibat yang dilarang oleh undang-undang telah terjadi. Contoh tindak pidana materil adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan dapat terjadi jika ada orang yang meninggal atas suatu perbuatan melawan hukum. Jika, korban belum meninggal, maka tidak dapat dikatakan delik pembunuhan (penganiayaan atau percobaan pembunuhan misalnya).
Dengan menekankan pada aspek akibat, maka dalam delik materil, dikenal teori-teori mengenai ajaran kausalitas (sebab-akibat). Teori-teori kausalitas tersebut berfungsi untuk menentukan penyebab dari timbulnya suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang (tindak pidana) serta sebagai dasar pertanggungjawaban pidana.
Dalam disiplin ilmu hukum pidana, dikenal beberapa teori mengenai ajaran kausalitas pidana. Pertama, teori ekuivalen atau sine qua non. Pencetus teori ini adalah Von Buri (1873). Menurut teori ekuivalen, segala sesuatu (syarat) yang memiliki hubungan sehingga berkontribusi menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang bernilai setara dan dikualifikasi sebagai penyebab tindak pidana sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Dalam realitasnya, teori ekuivalen ini sudah usang dan mendapat kritik keras dari berbagai ahli hukum pidana, karena alasan luasnya dasar pertanggungjawaban pidana, khususnya terkait pengabaian terhadap aspek kesalahan (guilty) sebagai dasar pertanggungjawaban pidana.