Transformasi LHKPN Sebagai Mitigasi Korupsi dan Basis Asset Recovery Non Conviction Bassed Asset Forfeiture

by -

Tahun Jumlah Kerugian Negara Jumlah Uang Pengganti Yang Disetor ke Kas Negara Probabilitas
2020 Rp 56,74 triliun Rp 8,9 triliun 14%
2021 Rp 62,93 triliun Rp 1,4 triliun 1,2%
2022 Rp 49,79 triliun Rp 3,8 triliun 7,8%
2023 Rp 28,4 triliun Rp 16,27 triliun 55%
Data: ICW (2020-2023)

Korupsi Sebagai Kejahatan Luar Biasa
Secara yuridis, korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinarycrime), karena memiliki dampak destruktif yang luas dan multisektoral. Korupsi merusak sendi-sendi fundamental kehidupan negara sehingga menyebabkan disfungsi tata pemerintahan. Berikut dampak-dampak negatif korupsi bagi sebuah negara. Pertama, dampak ekonomi. Menurut Mauro (dalam Wihelmus, 2017: 36), korupsi memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi karena menyebabkan high cost economy. Korupsi menyebabkan dis-trust sehingga menghambat investasi dan penanaman modal, memperburuk kualitas barang dan jasa, meningkatkan utang negara, serta menyebabkan ketidakefektifan program pembangunan sehingga kerugian ekonomi membengkak.

Menurut data BPS (2022-2023), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2023 hanya sebesar 5,05%, lebih rendah dari capaian tahun 2022 yang sebesar 5,31%. Angka ini masih jauh dari target pemerintah, yang mencanangkan pertumbuhan ekonomi di atas 7%.
Kedua, mempersulit pengentasan kemiskinan. Korupsi menyebabkan kualitas dan kuantitas pembangunan di sektor-sektor pelayanan publik terhambat, sehingga program-program pengentasan kemiskinan baik secara jangka panjang maupun jangka pendek (bantuan sosial) menjadi tidak optimal. Merujuk data BPS pada Maret 2024, presentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 9,03% atau 25,22 juta orang dengan tingkat kesenjangan sosial (gini ratio) sebesar 0,379. Data tersebut menunjukkan probabilitas kemiskinan dan kesenjangan sosial di Indonesia terbilang masih cukup tinggi

Ketiga, kerusakan ekologis. Korupsi khususnya di sektor sumber daya alam menyebabkan dua implikasi besar yakni ketimpangan pemanfaatan ekologis dan kerusakan ekologis. Menurut data WALHI (2022) bahwa dari 53 juta hektare penguasaan lahan yang diberikan oleh pemerintah, 94,8% dipegang oleh korporasi sedangkang rakyat hanya sebesar 2,7% saja. Korupsi di sektor sumber daya alam pada umumnya berkaitan dengan suap dan gratifikasi terkait perizinan pengelolaan sumber daya alam, yang dampaknya menyebabkan kerusakan ekologis dan krisis iklim berkepanjangan. Berdasarkan data ICW, korupsi di sektor sumber daya alam menempati posisi ketiga pada tahun 2023 sebagai sektor yang menyebabkan kerugian negara terbesar yakni sebesar Rp 6,7 triliun.

Keempat, memperburuk kualitas pelayanan publik dan pembangunan sumber daya manusia. Korupsi menyebabkan nir-efisiensi anggaran dan berimplikasi pada menurunnya kualitas pelayanan publik. Jika kualitas pelayanan publik menurun maka akan berkorelasi terhadap penurunan aspek pembangunan sumber daya manusia. Berdasarkan data United Nations Development Programe (UNDP), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) tahun 2023-2024 sebesar 0,713 dan menempatkan Indonesia pada posisi 112 dunia. Terkait aspek pelayanan publik dan pembangunan sumber daya manusia, korupsi juga berimplikasi dalam mempersulit upaya pengentasan stunting. Berdasarkan data BPS, pravelensi stunting di Indonesia mengalami stagnansi. Pravelensi stunting pada tahun 2022 sebesar 21,6%, kemudian tahun 2023 sebesar 21,5% atau hanya naik 0,1%.
Konklusinya, korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang memiliki dampak destruktif secara luas dan multisektoral, maka diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula dalam memberantas korupsi. Pendekatan hasil guna pemberantasan korupsi yang masih lemah selama ini harus diperkuat dengan mentransformasikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai core mitigasi korupsi dan pengembalian kerugian negara dengan skema non conviction bassed asset forfeiture.

Transformasi LHKPN
Berdasarkan amanat Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, KPK memiliki wewenang terkait pendaftaran dan pemeriksaan LHPKN, yang diatur lebih rinci dalam Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016. Dalam Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016, KPK berwenang memeriksa nilai, jumlah, jenis, dan asal-usul harta kekayaan penyelenggara negara yang diperoleh sebelum, selama, dan setelah menjabat. Sayangnya dalam praktik, pelaporan dan pemeriksaan LHPKN sekadar formalitas belaka, hal ini dilatarbelakangi oleh bentuk pelaporannya yang bersifat self assesment dan dampaknya, apabila laporan LHKPN tidak benar dan tidak wajar, tidak memiliki sanksi yang signifikan. Oleh sebab itu, LHKPN harus ditransformasi menjadi core mitigasi korupsi dan pengembalian kerugian negara dengan skema non conviction bassed asset forfeiture melalui peradilan perdata, sebagai berikut.
Pertama, memperkuat sistem pemeriksaan LHKPN dengan bank data informasi kekayaan. KPK dapat menjalin kerjasama dengan BPN/Kominfo/Kemendagri dan Bank untuk merancang sistem bank data terkait informasi harta kekayaan penyelenggara negara secara integratif melalui pertukaran informasi antara KPK, BPN, Kominfo, Kemendagri, dan Bank. Dengan begitu, kekayaan baik berupa tanah dan bangunan serta hutang dari seorang penyelenggara negara akan terdeteksi. Derivasinya, pelaporan LHKPN secara self assesment oleh penyelenggara negara akan diuji dengan bank data untuk melihat kebenarannya.

Kedua, formulasi hasil pemeriksaan LHKPN sebagai dasar perampasan aset dan pemberhentian dari jabatan. Harus dilakukan revisi terhadap undang-undang terkait, untuk memformulasikan hasil pemeriksaan LHKPN sebagai dasar perampasan harta kekayaan (illicit enrichtment) dan dasar pemberhentian dari jabatan. Secara konseptual, aturan mengenai kewajiban laporan LHKPN oleh penyelenggara negara kepada KPK merupakan wujud transparansi dan akuntabilitas sebagai sistem deteksi dini untuk melihat akselerasi dan pertambahan kekayaan seorang penyelenggara negara yang dapat menjadi entry point untuk dilakukan pro justitia secara perdata maupun administratif.
Apabila hasil dari pemeriksaan LHKPN memperlihatkan terdapat harta kekayaan penyelenggara negara yang tidak wajar yang tidak dapat dibuktikan secara terbalik oleh penyelenggara tersebut bahwa kekayaan itu didapat secara sah, sehingga penyelenggara negara tersebut diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi. Hal tersebut akan menjadi dasar bagi jaksa KPK untuk melakukan gugatan perbuatan melawan hukum ke pengadilan guna merampas harta kekayaan yang tidak sah tersebut dan sekaligus menjadi dasar pemberhentian penyelenggara negara dari jabatannya. Jika LHKPN dapat ditransformasikan menjadi dasar perampasan harta kekayaan yang tidak sah dan dasar pemberhentian dari jabatan, maka mitigasi praktik korupsi lebih kuat dan asset recovery akan lebih efektif karena mengutamakan pendekatan recovery non conviction bassed asset forfeiture, melalui sengketa perdata yang lebih mudah pembuktiannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *