Kompetensi Relatif Pengadilan Negeri dalam Perkara Pidana

by -

Oleh: Pradikta Andi Alvat
Analis Perkara Peradilan Pengadilan Negeri Rembang

Asas kompetensi pengadilan pada hakikatnya membahas mengenai kewenangan dari pengadilan untuk mengadili suatu perkara hukum tertentu. Secara teoritik, asas kompetensi dibedakan menjadi dua yakni asas kompetensi absolut dan asas kompetensi relatif. Asas kompetensi absolut membahas mengenai obyek perkara yang secara absolut/mutlak menjadi wewenang badan peradilan tertentu dan tidak bisa diadili oleh badan peradilan lainnya. Misalnya perkara sengketa tata usaha negara yang mutlak menjadi wewenang pengadilan tata usaha negara untuk mengadili sehingga tidak bisa diadili oleh pengadilan negeri, pengadilan militer, ataupun pengadilan agama. Jadi, kompetensi absolut menyoal wewenang mutlak badan peradilan.

Sedangkan asas kompetensi relatif membahas mengenai pengadilan mana dalam satu lingkup badan peradilan yang berhak untuk mengadili suatu perkara hukum. Relatif disini memiliki arti tidak mutlak, sehingga masih memiliki viabilitas untuk diadili oleh pengadilan lain dalam satu lingkup badan peradilan. Artinya, kompetensi relatif menyoal tentang wewenang pengadilan terkait obyek perkara dalam satu lingkup badan peradilan.

Kompetensi Relatif Pengadilan Negeri dalam Perkara Pidana

Menurut Pasal 84 ayat (1) KUHAP, pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Ketentuan ini berkaitan dengan locus delicti, yakni tempat terjadinya atau dilakukannya tindak pidana. Aspek locus delicti merupakan kriteria dan acuan utama yang menjadi rujukan dalam menentukan kompetensi pengadilan negeri mana yang berwenang untuk mengadili suatu perkara pidana.
Akan tetapi, ketentuan terkait penentuan kompetensi mengadili perkara pidana oleh pengadilan negeri yang didasarkan pada aspek locus delicti ini tidak bersifat mutlak, karena dalam keadaan dan kondisi tertentu, penentuan wewenang pengadilan negeri dalam mengadili perkara pidana yang didasarkan pada aspek locus delicti dapat dikesampingkan baik karena alasan jarak tempat tinggal saksi dengan tempat tinggal terdakwa yang lebih dekat dari pada dengan locus delicti, faktor penggabungan perkara, maupun karena faktor keamanan dan kondusifitas daerah.

Ketentuan Pasal 84 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditempat ia diketemukan, atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada pengadilan negeri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.

Berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP, maka pengadilan negeri dimana terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditempat ia diketemukan, atau ditahan, berwenang mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh terdakwa sepanjang tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil secara jarak lebih dekat dengan pengadilan negeri dimana terdakwa tinggal dari pada pengadilan negeri dimana tindak pidana terjadi. Terdapat dua kondisi yang harus terpenuhi, yakni terdakwa melakukan tindak pidana di wilayah hukum yang berbeda dengan tempat tinggalnya serta kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil jaraknya lebih dekat dengan pengadilan negeri tempat terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, tempat ia diketemukan, atau ditahan dari pada pengadilan negeri dimana tindak pidana itu dilakukan.

Misalnya, si Z bertempat tinggal di kota Semarang, kemudian melakukan tindak pidana di kota Rembang, saksi-saksi yang dipanggil ke persidangan sebagian besar bertempat tinggal di kota Demak. Karena jarak Demak ke Semarang lebih dekat dari pada jarak Demak ke Rembang, maka pengadilan negeri yang berhak mengadili perkara pidana si Z adalah Pengadilan Negeri Semarang bukan Pengadilan Negeri Rembang (locus delicti), karena sebagian besar saksi bertempat tinggal di Demak yang secara jarak, lebih dekat dengan Pengadilan Negeri Semarang (tempat kediaman terdakwa) dari pada Pengadilan Negeri Rembang (tempat tindak pidana terjadi). Ketentuan ini merupakan pengejawantahan dari asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.

Kemudian, menurut Pasal 84 ayat (3) dan ayat (4), jika terjadi perbarengan tindak pidana, yakni seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu. Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

Simplifikasinya, jika terjadi penggabungan perkara atas beberapa tindak pidana yang dilakukan di wilayah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka penentuan wewenang mengadili berdasarkan faktor locus delicti dapat dikesampingkan. Ketentuan ini pada prinsipnya juga merupakan pengejawantahan dari asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.
Selanjutnya, kompetensi relatif pengadilan negeri dalam perkara pidana juga dapat disebabkan karena faktor “Keadaan daerah tidak mengizinkan”.

Menurut Pasal 85 KUHAP, dalam hal daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung menetapkan dan menunjuk pengadilan negeri lain sebagaimana ketentuan Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud. Penjelasan Pasal 85 KUHAP menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “Keadaan daerah tidak mengizinkan” antara lain tidak amannya daerah (misalnya konflik sosial berkepanjangan) atau adanya bencana alam (tsunami dll).

Terakhir, jika timbul sengketa tentang kewenangan mengadili perkara pidana antara satu pengadilan negeri dengan pengadilan negeri yang lain ditentukan bahwa, jika sengketa melibatkan dua atau lebih pengadilan negeri dalam satu wilayah hukum pengadilan tinggi, maka sengketa kewenangan mengadili diputuskan oleh pengadilan tinggi yang bersangkutan. Sedangkan jika sengketa melibatkan dua atau lebih pengadilan negeri yang tidak berada dalam satu wilayah hukum pengadilan tinggi, sengketa wewenang mengadili diputuskan oleh Mahkamah Agung.