Pergeseran Sanksi Pidana

by -

Oleh: Pradikta Andi Alvat
Analis Perkara Peradilan Pengadilan Negeri Rembang

Sanksi pidana sering disebut sebagai sanksi spesial atau sanksi yang paling berat diantara sanksi pada lapangan hukum lainnya. Sanksi pidana core utamanya merupakan perampasan kemerdekaan (pidana penjara dan pidana kurungan) bahkan hingga perampasan nyawa (pidana mati). Oleh sebab itu, pembuktian hukum pidana bernilai beyond reasonable of doubt. Artinya, bahwa harus benar-benar terpidanalah yang bersalah dan dijatuhi sanksi pidana tanpa keraguan sedikitpun.

Maka dari itu, dalam hukum pidana terdapat postulat yang mengatakan bahwa bukti-bukti dalam hukum pidana harus lebih terang dari pada cahaya serta lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah dari pada menghukum 1 orang yang tidak bersalah. Maknanya bahwa penegakan hukum pidana harus dilaksanakan dengan prinsip due process of law yang ketat karena berkorelasi langsung dengan perlindungan hak asasi manusia.

Secara teoritis, sanksi pidana pada prinsipnya memiliki 4 fungsi yakni reformation, restraint, retribution, dan detterance. Reformation, merupakan fungsi sanksi pidana dalam memperbaiki dan merehabilitasi seorang pelaku tindak pidana untuk menyadari kesalahannya, tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dan tidak mengulangi perbuatannya lagi maupun melakukan tindak pidana yang lain. Restraint, merupakan fungsi sanksi pidana untuk mengasingkan pelaku dari masyarakat melalui sanksi perampasan kemerdekaan, tujuannya adalah untuk menghindari balas dendam dari pihak korban dan juga memberikan kententraman dalam masyarakat.

Retribution, merupakan fungsi sanksi pidana sebagai reaksi timbal balik atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Detterance, merupakan fungsi sanksi pidana untuk memberikan efek jera kepada pelaku (prevensi khusus) dan juga memberikan rasa takut kepada masyarakat umum agar tidak melakukan tindak pidana (prevensi umum). Keempat fungsi sanksi pidana tersebut kemudian terdomain dalam 3 teori besar.

Dalam berbagai literatur prominen tentang hukum pidana, disebutkan bahwa tujuan dari pada penerapan sanksi pidana (pemidanaan) terbagi atas 3 teori besar yakni teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan. Teori absolut meletakkan sanksi pidana sebagai sarana pembalasan atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Teori absolut berakar dari konsep daad-strafrecht, dimana core orientasi dari hukum pidana dan sanksi pidana adalah pada perbuatan pidana.
Kedua, teori relatif. Teori relatif merupakan teori tujuan pemidanaan yang mengkonstruksikan sanksi pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang maslahat.

Jadi core utamanya bukan pada pembalasan. Tujuan utama dari teori relatif sendiri terdiri atas tigal hal yakni perlindungan terhadap masyarakat (preventif), menciptakan rasa takut untuk melakukan kejahatan, dan memperbaiki pelaku tindak pidana.

Teori relatif berakar dari konsep daad-dader-strafrecht, dimana core orientasi dari hukum pidana adalah pada perbuatan pidana dan juga pelaku tindak pidana. Ketiga, teori gabungan. Bahwa sanksi pidana ditujukan untuk memberi efek jera terhadap pelaku sekaligus untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang maslahat. Teori gabungan berakar pada konsep daad-dader-strafrecht.

Menurut Prof. Eddy Hiariej (2018), selain tiga teori di atas, terdapat teori baru tentang tujuan pemidanaan yang dinamakan teori kontemporer. Teori kontemporer meletakkan sanksi pidana untuk mewujudkan efek jera kepada pelaku, edukasi terhadap masyarakat, pengendalian sosial, dan keadilan restoratif terhadap korban. Teori kontemporer berakar dari konsep daad-dader-victim-strafrecht, dimana core hukum pidana tidak hanya tertuju kepada pelaku dan perbuatan pidana juga terhadap korban.

Jika ditinjau dalam retrospektif sejarah, perkembangan sanksi pidana pada dasarnya memiliki 3 periodesasi. Pertama, sanksi pidana sebagai pembalasan semata (retributif/absolut). Merupakan periodesasi di saat konsep pemasyarakatan belum dikenal dalam tata hukum Indonesia. Istilah pemasyarakatan sendiri dikenal pertama kali tahun 1963 yang dicetuskan oleh DR. Saharjo (Menteri Hukum dan Kehakiman saat itu) dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Indonesia. Secara formal konsep pemasyarakatan mulai memiliki landasan yuridis formal sejak diundangkannya UU Pemasyarakatan tahun 1995.

Kedua, sanksi pidana sebagai mencapai tujuan-tujuan tertentu (relatif/gabungan). Periodesasi sejak UU Pemasyarakatan mulai diterapkan. Pada periodesasi ini, sanksi pidana tidak sekadar dijadikan alat pembalasan melainkan sebagai sarana reformasi untuk memperbaiki narapidana. Pemasyarakatan merupakan obat bagi orang ‘sakit’ yakni narapidana agar sembuh dan dapat melebur kembali ke dalam masyarakat sebagai pribadi yang baik untuk mendukung pembangunan bangsa. Akan tetapi, dalam realitasnya, konsep pemasyarakatan mengalami disfungsi karena faktor over kapasitas akibat core perampasan kemerdekaan. Kemudian muncul pemikiran kontemporer agar penyelesaian perkara pidana tidak semua harus dengan sanksi perampasan kemerdekaan yang terbukti tidak efektif untuk menurunkan tingkat kejahatan dan mengabaikan kepentingan korban. Lalu munculah pemikiran periodesasi ketiga yang mengkonstruksikan sanksi pidana tidak sekadar terhadap pelaku sebagai adresatnya melainkan juga kepada korban.

Ketiga, sanksi pidana yang memperhatikan kepentingan korban. Jika pada periodesasi satu dan dua, sanksi pidana hanya berfokus pada pelaku tindak pidana, pada periodesasi ketiga ini, sanksi pidana mulai memberikan perhatian terhadap korban sebagai pihak yang paling terdampak dari terjadinya tindak pidana. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Saksi Korban, pembentukan peraturan tentang Restoratif Justice di berbagai institusi internal penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung), dan KUHP baru Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 mulai meletakkan sanksi pidana dalam kerangka keseimbangan antara tanggungjawab pelaku, perlindungan korban, dan partisipatif. Jenis-jenis sanksi pidana pun bergeser dari core utama perampasan kemerdekaan menjadi ke arah korektif, rehabilitatif, dan restitutif/restoratif.(**)