BENARKAH SOSIAL MEDIA BERDAMPAK PADA PERILAKU INSECURE PADA GENERASI MILLENIAL DI BANGKA BELITUNG?

oleh

Oleh ; ABHIRAMA AYDHIN ARRADHY.
MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

Media sosial pada era sekarang ini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas kehidupan sehari-hari dari hampir semua orang. Ia telah menjadi ruang dimana kita membentuk dan membangun hubungan, membentuk identitas diri, mengekspresikan diri, dan belajar tentang dunia di sekitar kita. Media sosial membuat kita secara pribadi menjadi sering membanding-bandingkan diri dengan orang lain, hal ini bisa juga disebut dengan Self Comparison. Media sosial juga sangat berdampak pada Self Esteem atau dalam bahasa Indonesia berarti “Harga Diri” dalam hidup. Kecanduan bermain media sosial ternyata dapat membuat Self Esteem kita menjadi lebih rendah, ditambah ketika bermain media sosial saat situasi hati sedang tidak stabil, maka hanya energi negatiflah yang akan kita konsumsi saat itu.

Kenapa media sosial bisa menyebabkan self esteem menjadi rendah? Karena dengan menghabiskan banyak waktu untuk bermain media sosial membuat semakin besar pula peluang kamu untuk membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain atau biasa disebut self comparison. Sebenarnya, Self Comparison tidak selamanya berdampak buruk tetapi faktanya menyatakan bahwa semakin sering bermain media sosial membuat seseorang akan semakin mudah terkena beragai macam gejala psikologis.

Memiliki tingkat self-esteem yang rendah dapat memicu rasa insecure yang semakin tinggi dalam diri, Insecure atau insecurity dalam pandangan psikologi adalah tindakan dari adanya emosi apabila kita menilai diri kita menjadi seorang inferior dari orang lain sehingga kita merasa tidak aman. Rasa tidak aman atau insecure sendiri bisa terjadi pada dirimu disaat kita sedang merasa kekurangan, malu, bersalah, bahkan sampai rasa tidak mampu untuk melakukan sesuatu dan ketika rasa tidak aman menguasai diri kita, maka akan memicu perasaan semakin tidak percaya diri yang ada pada dirimu. Jika dibiarkan berlarut-larut, insecure akan berdampak buruk bagi kesehatan mental dan gangguan psikis lainnya.

Kelompok manakah yang paling rentan terkena syndrome insecure ini? Beberapa study menyebutkan bahwa media sosial sangat banyak digunakan oleh kaum milenial Indonesia, bahkan sekitar 91 persen pengguna media sosial adalah kalangan remaja usia 14-19 tahun. Kenyataan ini sekaligus menjustifikasi bahwa kaum remajalah yang berpotensi besar terkena dampak insecure. Oleh karenanya, fenomena inscure remaja harus mendapatkan perhatian tersendiri dari pemerintah. Mengingat inilah fase yang sangat penting bagi perkembangan emosional dan psikososial mereka dimasa depan.

BACA JUGA :  Sidang Praperadilan, Hakim Anshori Hironi Menangkan Gugatan Tersangka Korupsi Mafia Tanah, Kejati Babel Belum Ambil Sikap

 

Secara teoritis, perasaan insecure dalam diri remaja itu berbeda-beda tergantung dengan penyebab yang membuat mereka merasa insecure, maka dalam hal ini kita perlu mengetahui penyebab dari insecure, seperti sering membanding-bandingkan diri dengan orang lain, merasa menjadi beban yang tidak mempunyai manfaat, tidak bisa lari dari kejadian masa lalu dan over thinking yang sering menjadi permasalahan pada remaja milenial zaman sekarang. Jika remaja berada dalam kondisi ini, hal yang sering dirasakan adalah rasa cemas dan rasa takut yang cenderung berlebihan yang dapat membuat remaja merasa bahwa dirinya tidak berguna bagi orang lain. Permasalahan itu akan semakin besar apabila mereka terus memikirkan hal tersebut secara berlebihan yang justru membuat pikiran kemana-mana dan akhirnya terjebak dalam perasaan insecure.

Praktek-praktek kehidupan seperti itu sangat banyak terjadi dalam pergaulan komunikasi di media social dan secara nyata berdampak pada perilaku insecure dikalangan remaja. Akibatnya banyak remaja yang tidak mampu menghargai diri sendiri, kesulitan dalam bergaul dan yang paling fatal yakni, membenci diri sendiri hingga melakukan hal-hal yang dapat menyakiti diri sendiri. Hal inilah yang membuat media sosial bisa menjadi sangat sensitif toksik dan berdampak kurang baik bagi kesehatan mental.

Saskhya Aulia Prima, seorang Psikolog Anak dan Remaja menyatakan bahwa “Di kalangan remaja, media sosial bisa menjadi suatu tantangan yang sangat berat. Mereka dihadapkan pada kehidupan teman-teman yang seakan-akan lebih baik dari mereka. Kemudian hal itu mulai membuat mereka merasa tidak aman, tidak percaya, bahkan merasa tidak berguna karena merasa tidak memberi dampak bagi sekitar”. Saskhya Aulia Prima juga memaparkan, “remaja memiliki potensi yang cukup tinggi untuk terserang cemas karena mereka sedang dalam masa mencari jati diri. Oleh karena itu, salah satu langkah penting yang perlu dilakukan untuk membangun kepercayaan diri, terutama di era digital dimana standar gaya hidup banyak dipengaruhi oleh tren di media sosial, adalah dengan rutin melakukan self-care”.

Lalu, kira-kira seberapa banyak-kah remaja di Bangka Belitung atau bahkan Indonesia yang berpotensi terdampak syndrome insecure dan memerlukan therapi self-care ini? Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dirilis beberapa pekan lalu menunjukkan bahwa Jumlah pengguna internet Indonesia di 2020 menembus angka 196,7 juta orang pada 2020. APJII dalam hasil surveinya juga mengungkapkan bahwa pengguna internet di Indonesia hingga triwulan kedua 2020 mencapai 73,7 persen dari total populasi Indonesia atau naik dari 64,8 persen dari tahun 2018. Jumlah pengguna internet paling besar berada di Jawa Barat, dengan jumlah 35,1 juta. Di urutan kedua ada Jawa Tengah dengan jumlah 26,5 juta orang, disusul oleh Jawa Timur dengan jumlah 26,3 juta, sedangkan pengguna internet di Bangka Belitung berjumlah 1.124.602 jiwa dan menempati peringkat ke 29 dari 34 Provinsi di Indonesia.

BACA JUGA :  Keluarga Pasien alm Riyadhi Ungkap Kekecewaannya atas Pelayanan RSUD Ir. Soekarno

Sementara itu untuk kontribusi penetrasi, Jawa mendominasi 56,4 persen, diikuti oleh Sumatera sebanyak 22,1 persen, Sulawesi 7,0 persen, Kalimantan 6,3 persen, Bali dan Nusa Tenggara 5,2 persen, serta Maluku dan Papua 3,0 persen. Dari sisi durasi, pengguna internet di Indonesia menghabiskan waktu rata-rata selama 7 jam 59 menit untuk berselancar di dunia maya, melampaui rata-rata global yang hanya menghabiskan waktu 6 jam 43 menit ketika menggunakan internet per harinya. Sedangkan dari lama durasi pemnggunaan internet tersebut, rata – rata penggunaan media sosial mencapai 3 jam 26 menit per hari, melebihi rata-rata global yang mencatat waktu 2 jam 24 menit per harinya. Uniknya, rata-rata penduduk Indonesia memiliki sekitar 10 akun media sosial per orang, baik aktif maupun tidak aktif menggunakannya.
Hal yang menarik dari survey tersebut adalah bahwa media social merupakan konten yang paling banyak diminati dan digunakan oleh generasi milenial.

Menurut suvei tersebut, 91 persen kalangan remaja yang berusia usia 14-19 tahun menjadi pengguna internet sekaligus social media yang aktif. Hanya9 persen saja remaja yang tidak menggunakan internet dan social media. Sebuah organisasi non pemerintah yang menyebut lembaganya sebagai “We Are Social“ menemukan bahwa medsos yang paling banyak ‘ditongkrongi’ oleh di Indonesia dari paling teratas adalah YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Line, FB Messenger, LinkedIn, Pinterest, We Chat, Snapchat, Skype, Tik Tok, Tumblr, Reddit hingga Sina Weibo. Sedangkan perangkat yang paling banyak digunakan, dari yang paling teratas adalah Mobile Phone (96%), Smartphone (94%), Non-Smartphone Mobile Phone (21%), Laptop Atau Komputer Desktop (66%), Tablet (23%), Konsol Game (16%), hingga Virtual Reality device (inet.detik.com, 20 Februari 2020).

BACA JUGA :  PJ Gubernur Safrizal Imbau Masyarakat Tetap Tenang terkait Tertundanya Logistik Masuk ke Pulau Bangka

Hasil survey tersebut diatas dengan tegas menunjukkan bahwa remaja atau generasi milenial Bangka Belitung dan bahkan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk terkena syndrome insecure, mengalami krisis kepercayaan diri dan bahkan bahkan terkena gangguan kesehatan mentalnya. Oleh karena itu, persoalan dampak social media ini harus dipandang penting oleh Pemerintah Indonesia. Kelalaian terhadap dampak dampak ini dapat berakibat fatal bagi kualitas sumberdaya manusia dan pembangunan Indonesia kedepan. Pendekatan psikologi melalui pendekatan self-care menjadi salah satu alternatife jawabaannya.

Menurut para ahli psikologi, pendekatan self-care tersebut dapat dilakukan diantaranya dengan tidak menyamakan definisi siapa diri kita dengan definisi orang lain terhadap dirinya sendiri. sehingga kita tidak merasa bahwa diri kita itu tidak layak untuk hidup di dunia ini. Selain itu, selalu bersyukur dengan kehidupan yang kita miliki dan tidak menganggap bahwa kehidupan orang lain itu selalu sempurna dapat menjadi cara mengatasi permasalahan tersebut. Selanjutnya langkah lain yang dapat kita lakukan untuk mengatasi perasaan insecure yaitu dengan lebih memanfaatkan waktu luang untuk mengerjakan hal-hal postif seperti membaca buku, berolahraga atau melakukan kegiatan yang bisa membuat mood menjadi bagus serta sebaiknya tidak terlalu sering melihat sosial media karena bisa menjadi salah satu sumber keterpurukan jika salah dalam menanggapinya dengan memandang rendah diri kita sendiri. “Mulailah peduli dengan diri sendiri. Coba setiap hari bikin list tentang hal-hal menyenangkan atau yang patut kita syukuri. Misalnya bertemu teman-teman. Kemudian tulislah hal-hal baik yang kita lakukan ke orang lain karena menurut penelitian menolong orang membuat diri kita lebih bahagia. Jadi kita merasa berarti. Lalu, fokus memposting tentang hal-hal bermakna untuk diri kita dan orang lain di media sosial. Dengan begitu fokus kita teralihkan, bukan lagi soal banyak-banyakan like tapi lebih ke konten yang bermanfaat. Dengan begitu, para remaja akan lebih percaya diri terhadap apa yang mereka lakukan. Bukan lagi menanggapi komentar dan respon orang di media sosial terhadap dirinya.(**)

 

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.