Kapita Selekta Hukum Pidana Lalu Lintas

by -
Ilustrasi. Foto : Net.

Selanjutnya perihal adresat (subyek hukum yang disasar) dari hukum pidana lintas terdiri atas perseorangan dan korporasi dalam hal ini perusahaan angkutan umum. Artinya, pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana lalu lintas dapat dibebankan kepada korporasi dan individu tergantung dari konteks deliknya. Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dijatuhkan kepada perusahaan angkutan umum dan/atau pengurusnya. Dimana terhadap perusahaan angkutan umum, dijatuhi denda dengan aturan dapat dijatuhkan 3 kali lipat dari denda yang tertuang dalam ancaman pasal.

Terkait penyelesaian pra-judicial, dalam hukum pidana lalu lintas terdapat dua kondisi yuridis, dimana tindak pidana lalu lintas dapat diselesaikan di luar pengadilan. Yakni kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak, dalam hal ini berlaku ketentuan lex specialis derogat legi generalis berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak dimana wajib diupayakan diversi dengan syarat limitatif, bukan pengulangan tindak pidana dan bukan delik yang ancaman hukumannya lebih dari 7 tahun serta tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang bersifat ringan berdasarkan ketentuan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.

Akan tetapi, merujuk Pasal 10 Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif kemudian memberikan keluasan ruang lingkup perkara tindak pidana lalu lintas yang dapat diselesaikan dengan pendekatan restoratif (di luar pengadilan), tidak sebatas pada kecelakaan ringan tapi juga kecelakaan sedang dan berat.
Kemudian, perihal fenomena penyitaan kendaraan yang terlibat kecelakaan dan penentuan unsur kesalahan dalam kecelakaan lalu lintas, seringkali memberikan kesan, pengalaman, dan asumsi di masyarakat awam bahwa pengambilan benda sitaan harus “ditebus” dengan membayar sejumlah uang kepada penyidik polisi lalu lintas serta anggapan bahwa pihak dengan kendaraan lebih besar selalu yang salah jika terjadi kecelakaan lalu lintas.

Terkait penyitaan, menurut Pasal 270 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009, tata cara penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan dilakukan menurut KUHAP. Oleh sebab itu, dalam hal ini mekanisme penyitaan khususnya perihal pengembalian benda sitaan tunduk pada aturan KUHAP. Berdasarkan KUHAP, mekanisme pengembalian benda sitaan diatur dalam Pasal 46, bahwa benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang yang paling berhak jika kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi, perkara tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau bukan tindak pidana, serta perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau ditutup demi hukum. Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada mereka yang disebut dalam putusan.

Dari ketentuan tersebut, maka jelas bahwa pengambilan benda sitaan dalam tindak pidana lalu lintas itu tidak memerlukan biaya.
Kemudian terkait anggapan bahwa pihak dengan kendaraan lebih besar selalu yang salah jika terjadi kecelakaan lalu lintas juga tidak tepat. Dalam doktrin pidana, pertanggungjawaban pidana itu terjadi apabila memenuhi dua unsur yakni bersifat melawan hukum dan adanya kesalahan. Kesalahan terdiri atas kemampuan bertanggunjawab (ukuran usia/kesehatan jiwa), tidak ada alasan pemaaf, dan dan berbentuk kesengajaan maupun kelalaian. Jadi, dalam kecelakaan lalu lintas, pihak yang harus bertanggungjawab secara pidana tidak dilihat dari ukuran kendaraan tetapi dari terpenuhinya dua aspek yakni bersifat melawan hukum dan adanya kesalahan.

Dalam Pasal 234 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 ditegaskan bahwa setiap pengemudi maupun perusahaan angkutan umum lepas dari tanggungjawab penggantian kerugian jika terdapat keadaan memaksa, disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga, dan disebabkan oleh gerakan orang/hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan. Kemudian Pasal 236 juga menegaskan bahwa pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan keputusan pengadilan. Kalimat “Pihak yang menyebabkan” mengartikulasikan pertanggunjawaban hukum berdasarkan sifat melawan hukum dan pemenuhan unsur kesalahan, bukan ukuran kendaraan. Pasal 310, lebih mempertegas lagi bahwa hubungan kausal antara kelalaian dengan terjadinya kecelakaan menjadi dasar pertanggunjawaban pidana. Pasal 310 ayat (1) “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas ….dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1000.000”, (**)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *