“Diatas kertas memang begitu hukumnya bahwa petahana setidaknya memiliki resource (sumber daya) lebih dalam memulai pemilu karena mereka tidak memulai dari nol,” sambung Ariandi.
Kinerja pemerintahan ketika mereka memimpin, cenderung dijadikan petahana untuk kembali membuat kebijakan agar daerah lebih berkembang. “Mereka kemudian bisa meng-call back, kembali apa yang sudah mereka lakukan 5 tahun belakang. Kemudian meramu kembali dalam program – program kedepan,” kata Ariandi.
Ariandi mengatakan seharusnya pemilu menjadi agenda membangun politik representasi. Bagaimana pemilu menjadi agenda baik bagi daerah, untuk bersama melakukan konsolidasi demokrasi. “Untuk melahirkan kepentingan publik dalam ruang kebijakan,” kata magister ilmu politik ini.
Politik representasi bagi Ariandi miliki 4 unsur formalistik, simbolik, deskriptif dan substantif, sayang dua terakhir kerap kali dikesampingkan.
“Saya kira itulah momentumnya, bagaimana ruang kebijakan itu benar – benar dihasilkan dari ruang representasi yang unsurnya bukan hanya sekedar simbolik dan formalistik,” pintanya.
Masih menurut, Ariandi siapa pun nanti peserta kontestasi di Pilkada harus miliki perencanaan terukur bagi pembangunan Babel.
“Ada kepentingan publik yang juga harus di bawa ke dalam ruang kontestasi, isu lokal apa yang perlu dirawat diselesaikan bersama. Sehingga konstelasi pilkada tidak lepas dari kontestasi gagasan,” ujarnya.(rel)