Pergeseran Sanksi Pidana

by -

Teori relatif berakar dari konsep daad-dader-strafrecht, dimana core orientasi dari hukum pidana adalah pada perbuatan pidana dan juga pelaku tindak pidana. Ketiga, teori gabungan. Bahwa sanksi pidana ditujukan untuk memberi efek jera terhadap pelaku sekaligus untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang maslahat. Teori gabungan berakar pada konsep daad-dader-strafrecht.

Menurut Prof. Eddy Hiariej (2018), selain tiga teori di atas, terdapat teori baru tentang tujuan pemidanaan yang dinamakan teori kontemporer. Teori kontemporer meletakkan sanksi pidana untuk mewujudkan efek jera kepada pelaku, edukasi terhadap masyarakat, pengendalian sosial, dan keadilan restoratif terhadap korban. Teori kontemporer berakar dari konsep daad-dader-victim-strafrecht, dimana core hukum pidana tidak hanya tertuju kepada pelaku dan perbuatan pidana juga terhadap korban.

Jika ditinjau dalam retrospektif sejarah, perkembangan sanksi pidana pada dasarnya memiliki 3 periodesasi. Pertama, sanksi pidana sebagai pembalasan semata (retributif/absolut). Merupakan periodesasi di saat konsep pemasyarakatan belum dikenal dalam tata hukum Indonesia. Istilah pemasyarakatan sendiri dikenal pertama kali tahun 1963 yang dicetuskan oleh DR. Saharjo (Menteri Hukum dan Kehakiman saat itu) dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Indonesia. Secara formal konsep pemasyarakatan mulai memiliki landasan yuridis formal sejak diundangkannya UU Pemasyarakatan tahun 1995.

Kedua, sanksi pidana sebagai mencapai tujuan-tujuan tertentu (relatif/gabungan). Periodesasi sejak UU Pemasyarakatan mulai diterapkan. Pada periodesasi ini, sanksi pidana tidak sekadar dijadikan alat pembalasan melainkan sebagai sarana reformasi untuk memperbaiki narapidana. Pemasyarakatan merupakan obat bagi orang ‘sakit’ yakni narapidana agar sembuh dan dapat melebur kembali ke dalam masyarakat sebagai pribadi yang baik untuk mendukung pembangunan bangsa. Akan tetapi, dalam realitasnya, konsep pemasyarakatan mengalami disfungsi karena faktor over kapasitas akibat core perampasan kemerdekaan. Kemudian muncul pemikiran kontemporer agar penyelesaian perkara pidana tidak semua harus dengan sanksi perampasan kemerdekaan yang terbukti tidak efektif untuk menurunkan tingkat kejahatan dan mengabaikan kepentingan korban. Lalu munculah pemikiran periodesasi ketiga yang mengkonstruksikan sanksi pidana tidak sekadar terhadap pelaku sebagai adresatnya melainkan juga kepada korban.

Ketiga, sanksi pidana yang memperhatikan kepentingan korban. Jika pada periodesasi satu dan dua, sanksi pidana hanya berfokus pada pelaku tindak pidana, pada periodesasi ketiga ini, sanksi pidana mulai memberikan perhatian terhadap korban sebagai pihak yang paling terdampak dari terjadinya tindak pidana. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Saksi Korban, pembentukan peraturan tentang Restoratif Justice di berbagai institusi internal penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung), dan KUHP baru Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 mulai meletakkan sanksi pidana dalam kerangka keseimbangan antara tanggungjawab pelaku, perlindungan korban, dan partisipatif. Jenis-jenis sanksi pidana pun bergeser dari core utama perampasan kemerdekaan menjadi ke arah korektif, rehabilitatif, dan restitutif/restoratif.(**)