Oleh: Syafrudin Prawiranegara
*Demonstran ’98
Bukan pengusaha, apalagi pengusaha kaya raya. Bukan politikus, apalagi politikus yang berjaring ke elite atau penguasa negara.
Bukan keduanya itu, menurut banyak pihak, membuat Haji Marwan (eks Kepala Dinas Kehutanan KBB) tampak sebagai sosok paling lemah, di antara nama-nama yang mencuat dalam kasus jual beli lahan di Kotawaringin, Kabupaten Bangka.
Pada sistem penegakan hukum yang tebang pilih, tumpul ke atas dan tajam ke bawah, berlaku pola: yang kuat akan aman, dan sebaliknya mereka yang lemah. Yang dipandang lemah, berpeluang besar ditersangkakan, untuk menjadi tumbal bagi “keselamatan” orang-orang kuat (yang sebetulnya lebih masuk akal jika ditersangkakan).
Naasnya, di Kepulauan Bangka Belitung, gambaran kenyataan yang jauh dari keadilan itu juga terbaca adanya. Bukan saja oleh orang-orang berpendidikan tinggi dengan rasionalitasnya. Tapi juga oleh para marhaen, wong cilik, dengan nurani dan naluri mereka. Sulit bagi masyarakat kemudian percaya, bahwa penegakan hukum yang berlangsung memang murni. Atau bukan orderan politik. Bukan pula upaya pemerasan secara halus (baca: nanggok).
Bertolak dari ketidakpercayaan itulah, pada satu sisi, dan ketidakberdayaan masyarakat kecil secara jaringan dan material untuk melawan pada sisi lain , sekelompok Majelis Ta’lim di Pekul, Riau Silip, menggelar Yasinan dan doa selamat untuk Haji Marwan. Dipimpin Ustadz Selamet asal Jombang, beberapa waktu lalu.
Begitu pula di tempat kelahiran Haji Marwan, Sungaiselan.
Tidak ada doa yang buruk dialamatkan kepada penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangannya. Setidaknya, belum ada. Entah, mungkin di kemudian hari, ketika kejumawaan aparat penegak hukum sudah dipandang melewati batas, dengan memperkosa hukum: yang tidak salah dipaksakan menjadi salah. Yang salah, dipaksakan menjadi benar.
Yang ada saat ini dan mungkin ke depan, kebiasaan melantunkan solawat di kalangan akar rumput, akan terus meningkat dengan bacaan terpilih: Solawat asyghil.
“Allahumma solli ‘ala sayyidina muhammad, wa asyghilizzolimin bizzolimin….”
Artinya : ” Wahai Allah, limpahkan kebaikan kepada sayyid kami Muhammad, dan sibukkanlah orang-orang zolim dengan orang zolim….”
Solawat inilah yang diamalkan rakyat di masa pertengahan Orde Baru, di masa otoritarianisme orde itu mencengkeram kuat.
Belakangan, solawat inilah yang diyakini tidak sedikit orang, sebagai salah satu saham terkuaknya kasus di kepolisian yang paling memalukan dalam sejarah.
Pertanyaan yang menggelitik, di tengah masifnya lantunan solawat: apakah betul masyarakat kecil, marhaen, wong cilik, di Kepulauan Bangka Belitung ini tak berdaya melakukan perlawanan, kecuali hanya dengan do’a?
Seketika, ingatan kita mungkin kembali kepada momen di mana Kantor Gubernur KBB diserbu dan diamuk massa, sekian tahun silam.
Lebih jauh lagi pada momen Mapolsek Sungaiselan yang rata dihancurkan massa.
Lebih jauh lagi tentu pada kisah tentang seorang Depati Amir, yang dengan gagah berani melawan kezoliman penguasa hukum saat itu, kolonialis Belanda !
Apakah semua itu bukan inspirasi untuk bergerak mempertaruhkan marwah?
Bagi banyak orang di Bangka hari-hari ini, bumi Kepulauan Bangka Belitung dirasa telah diijak-ijak sesukanya oleh ketidakadilan yang entah berguru di mana.
Hanya dengan satu keberanian mengambil tongkat komando untuk menduplikasi Bandung Lautan Api, menjadi Bangka Lautan Api, rasanya perlawanan rakyat akan membuat semua orang, khususnya para pembesar tersadar, pada saat yang sudah terlambat
Melihat kedatangan langsung Haji Marwan ke Kejaksaan Tinggi kemarin, membisikkan satu hal : dialah yang akan mengambil langsung komando perlawanan. Dan menyerukan revolusi sosial !!!
Sungguh mengerikan !
Semoga saja aparat hukum tidak mecoba-coba menguji nyali rakyat Bangka, dengan melupakan bahwa eksistensi mereka di provinsi KBB, hanya ada ketika provinsi ini ada !!!
Wallahu a’lam
Krio Panting Putus Bedenting.
Cupak Gantang Tak Berubah.