Perihal Penahanan

oleh
Tersangka Ferdy Sambo dan Putri Cendrawathi saat rekonstruksi pembunuhan Brigadir J. Foto : Kompas

Oleh: Pradikta Andi Alvat

CPNS Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang

Secara konseptual, penahanan dalam sistem peradilan pidana merupakan mekanisme yuridis untuk melakukan perampasan kemerdekaan (sementara) kepada seorang tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana tertentu agar tersangka/terdakwa tersebut tidak melakukan hal-hal yang mempersulit proses peradilan pidana. Dalam ruang publik, penahanan seringkali justru diidentikkan dengan pemenjaraan, padahal keduanya jelas berbeda secara distingtif, baik berdasarkan tujuan maupun filosofisnya.

Tujuan dari penahanan jelas berbeda dengan pidana penjara di lembaga pemasyarakatan meskipun keduanya sama-sama berupa perampasan kemerdekaan. Penahanan bertujuan sebagai upaya preventif dan protektif terhadap tersangka/terdakwa agar proses peradilan pidana berjalan lancar. Sedangkan, pemasyarakatan bertujuan sebagai lembaga pembinaan terhadap narapidana.

Konkretnya, penahanan dikenakan kepada orang yang belum tentu bersalah (tersangka/terdakwa) yang tengah berhadapan dengan proses hukum. Sedangkan, pemasyarakatan (pidana penjara) dikenakan terhadap orang yang diputus bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.

Sebagai upaya yuridis, penahanan pun dapat diuji validitasnya melalui mekanisme praperadilan untuk menentukan sah tidaknya suatu penahanan. Jika tidak sah, maka tersangka/terdakwa berhak menuntut ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Selain dapat mengajukan upaya praperadilan (untuk menentukan sah tidaknya penahanan) tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan pada prinsipnya juga dapat mengajukan upaya pengalihan penahanan (misal dari penahanan rutan menjadi penahanan kota) dan upaya penangguhan penahanan (dikeluarkan dari jenis penahanan tertentu walaupun waktu penahanan masih berlangsung)

Upaya pengalihan dan penangguhan penahanan dapat terpenuhi dengan adanya surat permohonan dari tersangka/terdakwa/keluarga/kuasa hukum baik dengan jaminan atau tanpa jaminan orang atau uang, persetujuan dari pejabat yang berwenang pada tingkat pemeriksaan tertentu, dan adanya persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan.

Dalam KUHAP, definisi mengenai penahanan sendiri diatur dalam Pasal 1 butir 21. Menurut Pasal 1 butir 21KUHAP, penahanan didefinisikan sebagai penempatan tersangka atau terdakwa di suatu tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Tempat tertentu disini merujuk pada 3 jenis penahanan.

Pertama, penahanan di rumah tahanan (rutan). Kedua, penahanan rumah (dilaksanakan di rumah tersangka/terdakwa dengan pengawasan petugas). Ketiga, penahanan kota(dilaksanakan di kota tempat tinggal tersangka/terdakwa dengan kewajiban melaporkan diri pada waktu yang ditentukan).

Ketiga jenis penahanan ini memiliki perbedaan, baik dari segi tempat pelaksanaan maupun konsekuensi pemotongan hukuman. Jika penahanan rutan dipotong seluruhnya terhadap vonis hukuman (penjara) yang dijatuhkan, sedangkan bagi tahanan kota adalah sebesar seperlima, dan tahanan rumah sebesar sepertiga.

Secara normatif, berdasarkan penelaahan substansi Pasal 21 KUHAP, penahanan sendiri hanya dapat dilakukan dengan terpenuhinya dua aspek syarat secara kumulatif. Pertama, aspek subyektif. Dalam hal ini berdasarkan penilaian secara subyektif dari aparatur penegak hukum, terkait penilaian adanya kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengulangi tindak pidana, dan mempersulit pemeriksaan.

Kedua, syarat obyektif. Tersangka/terdakwa disangka/didakwa melakukan suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih dan tindak pidana dalam Pasal-Pasal yang disebutkan oleh Pasal 21 KUHAP (meskipun ancaman pidananya dibawah 5 tahun penjara).

Berdasarkan konsepsi tersebut, maka penahanan dalam proses peradilan adalah sebuah keharusan manakala terpenuhinya syarat obyektif dan subyektif secara paralel. Namun pemenuhan syarat subyektif inilah yang menjadi problematis, karena seringkali menjadi pintu ketidakadilan dan tendensi pandang bulu dalam penerapan penahanan secara praktis.

BACA JUGA :  5 Smelter Hasil Sitaan Dititipkan Kejaksaan RI ke Kementerian BUMN Dalam Perkara Kasus Korupsi Timah