Pertanggunjawaban Pidana Anak

by -
Foto: ilustrasi. (Net)

Oleh: Pradikta Andi Alvat

Analis Perkara Peradilan Pengadilan Negeri Rembang

 

Secara praksis-teoritik, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terpenuhi dua aspek secara integral. Pertama, aspek obyektif, yakni terkait pemenuhan unsur-unsur delik pidana (perbuatan melawan hukum). Kedua, aspek subyektif, yakni aspek pada diri pelaku terkait adanya kesalahan. Kesalahan (schuld) merupakan keadaan jiwa dan hubungan batin seseorang dengan perbuatannya, yang mana antara hubungan batin dengan perbuatannya seseorang patut dicela oleh hukum.

Keadaan jiwa menyangkut kemampuan bertanggungjawab yakni keadaan kematangan dan kenormalan psikis yang ditandai oleh tiga hal: menginsyafi arti dan akibat perbuatannya, memahami bahwa perbuatannya itu melanggar norma sosial (tercela), dan kemampuan menentukan kehendak untuk berbuat. Sedangkan hubungan batin seseorang dengan perbuatannya meliputi adanya kesengajaan maupun kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf.

Berdasarkan konsepsi di atas, maka seseorang yang belum atau tidak memenuhi kondisi kematangan dan kenormalan psikis meskipun unsur delik terpenuhi, maka tidak dapat dijatuhi pertanggungjawaban pidana, karena tidak terpenuhi aspek kesalahan. Orang yang secara hukum dianggap tidak atau belum memenuhi kondisi kematangan dan kenormalan psikis adalah orang gila dan anak. Perihal anak, menurut aturan hukum positif (UU Perlindungan Anak maupun UU Sistem Peradilan Pidana), dikualifikasikan sebagai seseorang yang berusia 0 hingga di bawah 18 tahun.

Akan tetapi, anak yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana adalah anak yang melakukan tindak pidana saat berusia 12 tahun ke bawah. Artinya, anak yang berusia 12 tahun hingga dibawah 18 tahun yang melakukan tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Batas usia 12 tahun bagi pertanggunjawaban pidana anak didasari pada pertimbangan secara sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang belum mencapai usia 12 tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya atau belum memiliki kematangan dan kenormalan psikis.

Mengacu pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak, konstruksi anak dalam konteks pertanggungjawaban pidana sendiri dapat dibedakan menjadi tiga kualifikasi. Pertama, anak usia 0 hingga dibawah 12 tahun. Ketentuannya, tidak dapat diproses hingga persidangan dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Tetapi dapat dikenai tindakan (dikembalikan pada orang tua/wali dan mengikutsertakan program pendidikan dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS) melalui penetapan pengadilan yang diajukan oleh penyidik bersama pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional.

Dalam konteks dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah usia 12 tahun, pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik bukan dalam rangka proses peradilan pidana (penyidikan) melainkan sebagai dasar pengambilan keputusan yang melibatkan penyidik, pembimbing kemasyarakatn, dan pekerja sosial profesional untuk memberikan tindakan yang tepat dan efektif terhadap anak di bawah usia 12 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Kedua, anak usia 12 hingga dibawah 14 tahun. Dapat diproses hingga persidangan. Tidak dapat dijatuhi sanksi pidana dan hanya dapat dikenakan tindakan melalui putusan pengadilan yang bentuknya lebih luas yakni pengembalian pada orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan instansi pemerintah atau swasta, serta perbaikan akibat tindak pidana. Ketiga, anak usia 14 tahun hingga 18 tahun. Dapat diproses hingga persidangan. Dapat dijatuhi sanksi pidana atau tindakan.

Menurut Pasal 71 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, sanksi pidana terhadap anak dibedakan menjadi sanksi pokok yang terdiri dari pidana peringatan, pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan), pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara. Sedangkan pidana tambahan terdiri: perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan pemenuhan kewajiban adat. Selanjutnya, apabila dalam hukum materil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

Selain itu, ada lex spesialis dalam penjatuhan pidana terhadap anak yang sifatnya meringankan (afirmatif penal), yakni sanksi penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak adalah maksimal ½ dari maksmum pidana penjara terhadap orang dewasa. Jika tindak pidana yang dilakukan anak diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pidana maksimum yang dapat dijatuhkan terhadap anak adalah pidana penjara 10 tahun.

Lalu bagaimana dengan seseorang yang melakukan tindak pidana dengan kondisi berusia dibawah 18 tahun tetapi sudah menikah, apakah digolongkan sebagai anak dan menjalani sistem peradilan pidana anak? Menurut penjelasan Pasal 20 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang sudah kawin dan belum berumur 18 tahun tetap diberikan hak dan kewajiban keperdataan sebagai orang dewasa. Artinya, dia dipertanggungjawabkan sebagai orang dewasa dan tidak mengikuti sistem peradilan pidana anak. Sehingga ketentuan pertanggungjawaban pidananya masuk dalam kategori orang dewasa. Selain itu, jika anak melakukan tindak pidana sebelum genap berusia 18 tahun tetapi disidangkan sesudah melebihi usia 18 tahun tetapi belum berumur 21 tahun, dia tetap diajukan ke sidang anak dan diperiksa dengan acara pemeriksaan anak.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *