Oleh: Pradikta Andi Alvat
PNS PN Rembang
Berdasarkan tinjauan teoritik maupun formal-praktis, pembuktian dalam perkara pidana Indonesia pada dasarnya menganut prinsip pembuktian negatif. Dalam arti, seseorang terdakwa hanya dapat dinyatakan bersalah dan dijatuhi sanksi pidana dengan terpenuhinya dua aspek secara kumulatif, yakni pemenuhan minimum dua alat bukti dan keyakinan hakim. Alat bukti adalah dasar validitas untuk membuktikan kesalahan terdakwa sekaligus sebagai dasar formalitas penjatuhan saanksi pidana. Sedangkan keyakinan hakim adalah keyakinan personal seorang hakim yang dapat diperoleh dari alat bukti maupun barang bukti tentang bersalahnya terdakwa atas perbuatan yang didakwakan.
Perihal alat bukti, secara umum, dalam pembuktian pidana dikenal lima jenis alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam doktrin hukum pidana, masing-masing alat bukti memiliki kekuatan pembuktian yang sederajat, tidak ada yang lebih utama dari yang lain. Hal ini berbeda dengan alat bukti dalam perkara perdata, yang memiliki derajat kekuatan pembuktian yang berbeda (ada alat bukti sempurna, alat bukti menentukan, dan alat bukti biasa).
Tujuan dari pada pembuktian hukum pidana sendiri adalah untuk mencari kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan terangnya kompleksitas dan kronologis perkara guna menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa atas perbuatan yang didakwakan padanya. Sedangkan dalam hukum perdata, tujuan pembuktiannya adalah mencari kebenaran formil, yakni kebenaran yang didasarkan pada pemenuhan formalitas alat bukti dimana keyakinan hakim tidak bersifat imperatif.
Alat Bukti Keterangan Saksi
Salah satu alat bukti dalam perkara pidana adalah keterangan saksi. Keterangan saksi adalah keterangan yang disampaikan oleh saksi di muka persidangan (Pasal 185 ayat 1 KUHAP). Saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP didefinisikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Berdasarkan Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010, definisi saksi diperluas menjadi orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Makna ‘tidak selalu’ ini merepresentasikan saksi yang memiliki pengetahuan maupun hubungan yang terkait langsung dengan perkara pidana yang tengah diperiksa.