Oleh: Pradikta Andi Alvat
Analis Perkara Peradilan Pengadilan Negeri Rembang
Pembahasan populisme dalam ruang publik sangat identik dengan terminologi politik, walaupun secara prinsip pada hakikatnya tidak sesempit itu. Dalam optik politik, populisme diartikan sebagai paradigma politik yang bertumpu pada kesejahteraan dan keberpihakan pada rakyat kecil yang umumnya merupakan warga mayoritas. Dalam realitas, makna populisme dikonstruksikan sebagai sarana oportunis elite politik untuk meraih simpati dan dukungan rakyat dengan membuat kebijakan dan gagasan yang berpihak pada rakyat kecil yang sifatnya mendistingsi antara kelompok the pure people (mayoritas-masyarakat miskin) dan the corrupt elite, yakni kaum elitis-borjuis (Populism: A Very Short Introduction: 2017).
Dengan kata lain, populisme merupakan posisi politik yang menempatkan rakyat kebanyakan dan elite yang korup dalam posisi diametrikal, dimana politik dilihat sebagai ekspresi dari keinginan rakyat kebanyakan. Populisme dalam politik secara substansial mengandung beberapa elemen elementer, yakni merupakan saluran yang mewakili ekspresi politik kelompok miskin dan marjinal, eksistensi kepemimpinan yang bersifat kharismatik-apokaliptik, serta adanya distingtif sentimen ‘kita vs mereka’ yang kuat yang didasarkan pada perbedaan status ekonomi maupun SARA. Secara teoritik, klasifikasi dan jenis dari populisme memang beragam, dari populisme Islam, populisme sayap kiri, hingga populisme sayap kanan, akan tetapi, dalam tulisan ini tidak berfokus pada pembedahan mengenai hal tersebut.
Dalam dinamika global, terdapat beberapa pemimpin dunia yang mengejawantahkan atau mencitrakan dirinya sebagai penganut populisme politik. Salah satunya adalah Hugo Chavez, mantan Presiden Venezuela. Dalam masa kepemimpinannya, Hugo Chavez beberapa kali membuat kebijakan populis, salah satunya kebijakan subsidi besar-besaran meliputi subsidi bahan bakar minyak, kesehatan, perumahan, dan makanan pokok yang bertujuan untuk mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat Venezuela. Simplifikasinya, dalam konteks politik, populisme identik dengan posisi politik yang concern pada gerakan dan aspirasi konfrontatif sebagai bagian ekspresi politik masyarakat kaum papa yang digaungkan oleh kepemimpinan kharismatik.
Sedangkan secara gramatikal-formal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, populisme sendiri diartikan secara positif yakni paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil. Dalam arti literal, populisme merupakan paradigma keberpihakan pada rakyat kecil (miskin-marginal) untuk mewujudkan kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan. Populisme menuntut adanya afirmasi (keberpihakan) kebijakan terhadap rakyat kecil agar tercipta kesetaraan.
Populisme dalam Hukum Pidana
Hubungan populisme dan hukum secara umum belum menjadi pembahasan dan terminologi yang mainstream. Relasi antara populisme dan hukum mulai dikenal dalam istilah penal populisme di Amerika Serikat yang dimaknai sebagai kebijakan penghukuman yang keras terhadap kejahatan tertentu sesuai aspirasi dan tren sikap masyarakat sebagai upaya mendapatkan simpati masyarakat (ex: three-strikes law). Akan tetapi, esensi populisme hukum pidana yang penulis maksud disini bukanlah penal populisme yang kecenderungan pada hard retributif terhadap pelaku dan sarat motif politis, populisme hukum pidana disini merupakan paradigma keberpihakan hukum pidana pada kelompok rentan.
Perlu dipahami bahwa hukum dalam arti sempit merupakan aturan normatif yang tersistematisasi dalam peraturan perundang-undangan sebagai pengejawantahan secara lebih konkrit-aplikatif dari hukum dasar (konstitusi) dan dasar negara. Artinya, bahwa peraturan perundang-undangan positif harus terjiwai dan merupakan kepanjangan tangan dari norma-norma dalam dasar negara dan hukum dasar. Secara esensial, jika diamati seksama, ghiroh dari dasar negara (Pancasila) dan hukum dasar (UUD NRI Tahun 1945) pada prinsipnya memiliki concern keberpihakan pada kelompok rentan demi terwujudnya kesetaraan dan keadilan.
Sila kedua Pancasila yakni kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada hakikatnya mengandung nilai transendental terkait viabilitas keberpihakan pada kelompok rentan. Secara logis, tanpa adanya keberpihakan dan afirmasi maka mustahil mawujudkan keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemudian, hukum dasar (konstitusi) juga mengamanatkan keberpihakan pada kelompok rentan. Khususnya terkandung dalam Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.