Penerapan denda damai dalam penyelesaian tindak pidana ekonomi ditinjau dari perspektif doktrin dan teori hukum pidana pada dasarnya memiliki empat variabel penting. Pertama, prinsip dominus litis. Kejaksaan merupakan dominus litis (pemilik perkara) dalam perkara pidana. Kejaksaan berperan sebagai representasi pemerintah yang memiliki wewenang untuk menuntut seorang tersangka ke pengadilan sekaligus sebagai eksekutor putusan pidana.
Oleh sebab itu, prinsip dominus litis ini berderivasi terhadap lahirnya asas oportunitas. Asas oportunitas adalah wewenang kejaksaan untuk menuntut maupun tidak menuntut perkara pidana berdasarkan kepentingan umum. Penerapan denda damai dalam konteks dominus litis, pada hakikatnya merupakan implementasi dari asas oportunitas yang dimiliki oleh kejaksaan. Hal ini dipertegas dalam penjelasan Pasal 35 ayat (1) huruf k UU Nomor 11 Tahun 2021, yang menegaskan bahwa penggunaan denda damai merupakan salah satu bentuk penerapan asas oportunitas.
Kedua, karakter hukum pidana administratif. Tindak pidana ekonomi digolongkan sebagai hukum pidana administratif atau hukum pidana khusus eksternal, hukum pidana administratif adalah hukum administratif yang diberi sanksi pidana, agar proses, birokrasi, dan ketentuan yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan dapat berjalan efektif. Karakter pokok dari hukum pidana administratif adalah sanksi pidana diletakkan sebagai ultimum remedium (obat/jalan terakhir). Oleh sebab itu, penerapan denda damai dalam tindak pidana ekonomi telah sesuai dengan karakteristik delik ekonomi sebagai hukum pidana administratif, yang meletakkan penggunaan sanksi pidana sebagai obat terakhir.
Ketiga, paradigma sanksi pidana moderen. Menurut Prof. Eddy Hiariej, paradigma pemidanaan moderen tidak lagi tertuju pada aliran retributif (pembalasan), melainkan perpaduan integral antara pendekatan korektif, rehabilitatif, dan restoratif. Pendekatan korektif bertujuan mencegah pelaku kejahatan mengulangi perbuatannya lagi di masa depan, pendekatan rehabilitatif bertujuan untuk memulihkan dan menyadarkan kesalahan pelaku, dan pendekatan restoratif yang bertujuan memulihkan kerugian korban. Penerapan denda damai sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pada prinsipnya telah selaras dengan paradigma sanksi pidana moderen, dimana tidak meletakkan pendekatan retributif sebagai arus utama dalam penyelesaian perkara pidana.
Keempat, teori analisa ekonomi. Pendekatan retributif dalam penyelesaian perkara pidana menyebabkan efek drivatif negatif yakni menyebabkan over capasity Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM pada Juni 2024 kapasitas Rutan dan Lapas mengalami over kapasitas sebesar 89%. Jumlah total penghuni Rutan dan Lapas sebesar 265.000 jiwa sedangkan kapasitasnya hanya sebesar 144.065 jiwa. Dalam tinjaun teori analisa ekonomi, pendekatan pemenjaraan yang menyebabkan over kapasitas Lapas dan Rutan menyebabkan biaya operasional membengkak yang menyebabkan pemborosan anggaran negara. Oleh sebab itu, penerapan denda damai sebagai sarana alternatif penyelesaian perkara pidana pra-ajudikasi selaras dengan teori analisa ekonomi, karena penerapan denda damai memiliki viabilitas untuk menekan pendekatan pemenjaraan sekaligus mempercepat pengembalian uang negara tanpa birokrasi yang panjang.