Kapita Selekta Hukum Pidana Lalu Lintas

by -
Ilustrasi. Foto : Net.

Oleh: Pradikta Andi Alvat
PNS Pengadilan Negeri Rembang

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara substansial pada hakikatnya merupakan keseluruhan kaidah hukum yang mengatur mengenai pengaturan kaidah hukum administrasi lalu lintas dan hukum pidana lalu lintas. Hukum administrasi lalu lintas berkaitan dengan pengaturan hukum administrasi perihal ihwal lalu lintas seperti pengaturan terminal, pengaturan terkait mekanisme pengujian kendaraan bermotor, pengaturan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor, pengaturan surat izin mengemudi, pengaturan analisis dampak lalu lintas, pengaturan pengusahaan angkutan, dan lainnya, yang disertai sanksi administratif bagi subyek hukum yang melanggar atau tidak mematuhinya.

Sedangkan hukum pidana lalu lintas adalah keseluruhan kaidah hukum lalu lintas yang mengandung ancaman sanksi pidana (tindak pidana lalu lintas). Dalam UU Nomor 22 Tahun 2009, tindak pidana lalu lintas dibedakan menjadi kejahatan lalu lintas dan pelanggaran lalu lintas, yang secara substantif antara kejahatan lalu lintas dengan pelanggaran lalu lintas memiliki konsepsi yang berbeda. Secara teoritik, Moeljatno dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana (1987), menjelaskan bahwa perbedaan antara kejahatan dengan pelanggaran dapat dilihat dari sudut pandang kualitatif dan kuantitatif.

Dalam sudut pandang kualitatif, bahwa kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat onrecht (mala in se) yang sangat merugikan masyarakat berupa hilangnya keseimbangan, kententraman, dan ketertiban. Sedangkan pelanggaran merupakan perbuatan-perbuatan yang sifatnya delik undang-undang, artinya perbuatan tersebut dikatakan melawan hukum setelah diatur oleh undang-undang sebagai tindak pidana (mala in prohibitia). Sedangkan dalam sudut pandang kuantitatif, ancaman sanksi pidana yang dijatuhkan kepada kejahatan jauh lebih berat dari pada pelanggaran.

Menurut ketentuan Pasal 316 UU Nomor 22 Tahun 2009, kejahatan lalu lintas diatur dalam Pasal 273, 275 ayat (2), 277, 310, 311, dan 312. Sedangkan pelanggaran lalu lintas diatur dalam Pasal 274, 275 ayat (1), 276, 278, 279, 280, 281, 282, 283, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 309, dan 313. Contoh kejahatan lalu lintas adalah kecelakaan lalu lintas (Pasal 310) dan merusak rambu lalu lintas (Pasal 275 ayat 2), Contoh pelanggaran lalu lintas misalnya mengendarai motor tanpa surat izin mengemudi (Pasal 281).

Perbedaan distingtif antara kejahatan lalu lintas dengan pelanggaran lalu lintas terletak pada acara pemeriksaan. Kejahatan lalu lintas diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa atau juga bisa dengan acara pemeriksaan singkat, sedangkan pelanggaran lalu lintas diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat atau sering disebut sidang tilang. Ada konsekuensi yuridis dari perbedaan acara pemeriksaan, misalnya dalam acara pemeriksaan cepat, putusan pidana tidak dibuat secara tersendiri tapi hanya dicatat dalam daftar catatan perkara dan disidang oleh hakim tunggal, sedangkan dalam acara pemeriksaan biasa diperiksa dengan hakim majelis dan putusan pidana dibuat secara tersendiri.

Selanjutnya perihal adresat (subyek hukum yang disasar) dari hukum pidana lintas terdiri atas perseorangan dan korporasi dalam hal ini perusahaan angkutan umum. Artinya, pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana lalu lintas dapat dibebankan kepada korporasi dan individu tergantung dari konteks deliknya. Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dijatuhkan kepada perusahaan angkutan umum dan/atau pengurusnya. Dimana terhadap perusahaan angkutan umum, dijatuhi denda dengan aturan dapat dijatuhkan 3 kali lipat dari denda yang tertuang dalam ancaman pasal.

Terkait penyelesaian pra-judicial, dalam hukum pidana lalu lintas terdapat dua kondisi yuridis, dimana tindak pidana lalu lintas dapat diselesaikan di luar pengadilan. Yakni kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak, dalam hal ini berlaku ketentuan lex specialis derogat legi generalis berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak dimana wajib diupayakan diversi dengan syarat limitatif, bukan pengulangan tindak pidana dan bukan delik yang ancaman hukumannya lebih dari 7 tahun serta tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang bersifat ringan berdasarkan ketentuan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.

Akan tetapi, merujuk Pasal 10 Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif kemudian memberikan keluasan ruang lingkup perkara tindak pidana lalu lintas yang dapat diselesaikan dengan pendekatan restoratif (di luar pengadilan), tidak sebatas pada kecelakaan ringan tapi juga kecelakaan sedang dan berat.
Kemudian, perihal fenomena penyitaan kendaraan yang terlibat kecelakaan dan penentuan unsur kesalahan dalam kecelakaan lalu lintas, seringkali memberikan kesan, pengalaman, dan asumsi di masyarakat awam bahwa pengambilan benda sitaan harus “ditebus” dengan membayar sejumlah uang kepada penyidik polisi lalu lintas serta anggapan bahwa pihak dengan kendaraan lebih besar selalu yang salah jika terjadi kecelakaan lalu lintas.

Terkait penyitaan, menurut Pasal 270 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009, tata cara penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan dilakukan menurut KUHAP. Oleh sebab itu, dalam hal ini mekanisme penyitaan khususnya perihal pengembalian benda sitaan tunduk pada aturan KUHAP. Berdasarkan KUHAP, mekanisme pengembalian benda sitaan diatur dalam Pasal 46, bahwa benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang yang paling berhak jika kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi, perkara tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau bukan tindak pidana, serta perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau ditutup demi hukum. Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada mereka yang disebut dalam putusan.

Dari ketentuan tersebut, maka jelas bahwa pengambilan benda sitaan dalam tindak pidana lalu lintas itu tidak memerlukan biaya.
Kemudian terkait anggapan bahwa pihak dengan kendaraan lebih besar selalu yang salah jika terjadi kecelakaan lalu lintas juga tidak tepat. Dalam doktrin pidana, pertanggungjawaban pidana itu terjadi apabila memenuhi dua unsur yakni bersifat melawan hukum dan adanya kesalahan. Kesalahan terdiri atas kemampuan bertanggunjawab (ukuran usia/kesehatan jiwa), tidak ada alasan pemaaf, dan dan berbentuk kesengajaan maupun kelalaian. Jadi, dalam kecelakaan lalu lintas, pihak yang harus bertanggungjawab secara pidana tidak dilihat dari ukuran kendaraan tetapi dari terpenuhinya dua aspek yakni bersifat melawan hukum dan adanya kesalahan.

Dalam Pasal 234 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 ditegaskan bahwa setiap pengemudi maupun perusahaan angkutan umum lepas dari tanggungjawab penggantian kerugian jika terdapat keadaan memaksa, disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga, dan disebabkan oleh gerakan orang/hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan. Kemudian Pasal 236 juga menegaskan bahwa pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan keputusan pengadilan. Kalimat “Pihak yang menyebabkan” mengartikulasikan pertanggunjawaban hukum berdasarkan sifat melawan hukum dan pemenuhan unsur kesalahan, bukan ukuran kendaraan. Pasal 310, lebih mempertegas lagi bahwa hubungan kausal antara kelalaian dengan terjadinya kecelakaan menjadi dasar pertanggunjawaban pidana. Pasal 310 ayat (1) “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas ….dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1000.000”, (**)