Apresiasi Putusan MK Tolak Uji Materiil Kewenangan Kejaksaan, Dr Janpatar: Perkuat Integritas APH

by -

MEDAN – Putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruhnya permohonan uji materiil kewenangan Kejaksaan dalam menangani perkara tindak pidana korupsi (tipikor) kembali mendapat apresiasi.

Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan Dr Janpatar Simamora SH MH, Jumat, (19/1/2024), putusan MK tersebut sudah tepat.

“Saya kira langkah MK melalui putusannya yang menolak uji materiil kewenangan Kejaksaan dalam menangani tipikor, sudah tepat. Bagaimanapun juga sejak awal sudah melekat kewenangan tersebut di Kejaksaan.

Kalau kemudian dicabut atau dihilangkan, justru hal demikian rentan menimbulkan problem baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,” katanya.

Teramat sulit rasanya upaya pemberantasan tipikor berjalan dengan baik jika hanya mengharapkan satu institusi penegakan hukum saja, Komisi Pemberantasan (KPK) misalnya.

“Justru Kejaksaan dengan seluruh korpsnya mulai dari Daerah sampai tingkat Pusat harus terus didorong dan diperkuat untuk membersihkan negeri ini dari urusan korupsi,” sambung Doktor Hukum dari Universitas Padjadjaran Bandung tersebut.

Pertama, Kejaksaan harus diakui punya pengalaman mumpuni dalam penanganan tipikor selama ini. Kedua, perangkat struktur kelembagaannya sangat mendukung untuk menjangkau penuntasan korupsi sampai ke seluruh pelosok negeri.

“Jadi menurut Saya, kurang beralasan jika wewenang penangan kasus / perkara tipikor tersebut dicabut dari institusi Kejaksaan,” tegas lulusan Magister Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.

Justru upaya demikian patut diantisipasi serta berpotensi melemahkan semangat pemberantasan korupsi di tanah air.

Jika Kejaksaan dianggap belum optimal, maka yang mesti dilakukan adalah evaluasi menyeluruh terhadap institusi Kejaksaan.

Harus diakui bahwa masih ditemukan adanya oknum-oknum yang berusaha menyalahgunakan kewenangannya dalam pemberantasan korupsi. Dam potret dimaksud, bukan hanya ditemukan di Kejaksaan.

Maka menjadi sangat urgen ke depan, imbuh pria kelahiran Jumaramba, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi itu. memperkuat integritas Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya di Kejaksaan agar lebih bertanggung jawab dalam menjalankan tugas yang diemban.

“Institusi Kejaksaan diharapkan dapat berbenah lebih baik agar kepercayaan publik atas kinerjanya, khususnya dalam pemberantasan tipikor dapat terjaga dengan baik,” pungkasnya.

Pertimbangan Hukum

Mengutip laman resmi mkri.id, hakim konstitusi M Guntur Hamzah dalam sidang pengucapan putusan Nomor 28/PUU-XXI/2023, menolak seluruhnya permohonan uji materiil terhadap tiga Undang Undang (UU) sekaligus yang diajukan oleh M Yasin Djamaludin, Selasa (16/1/2024) di ruang sidang MK.

Yakni Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’.

Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan / atau Kejaksaan’ UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Pertimbangan hukum hakim Konstitusi atas putusan penolakan perkara a quo antara lain, pembentuk UU memilih untuk memberikan kewenangan melakukan penyidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi, merupakan bagian dari jenis tindak pidana khusus dan / atau tertentu kepada Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.

Sebab menurut pembentuk UU, penanganan tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime. Sehingga, tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga saja. Oleh karenanya, prinsip diferensiasi fungsional yang termuat pada KUHAPidana secara faktual, realita kebutuhan, dan kemanfaatan belum dapat dilakukan secara utuh.

Guntur menguraikan, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan hanya merupakan pintu masuk bagi pembuat undang-undang untuk memberikan kewenangan kepada Kejaksaan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu saja. Sementara itu, untuk tindak pidana umum kewenangan penyidikan tetap berada pada Kepolisian.

“Oleh karena itu menurut Mahkamah, kewenangan Kejaksaan melakukan penyidikan masih tetap diperlukan untuk menangani tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang secara faktual jenis maupun modusnya semakin beragam.

Di samping itu, secara riil adanya pemberian kewenangan penyidikan kepada kejaksaan hal tersebut semakin mempercepat penyelesaian penanganan tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana khusus dan/atau tertentu, serta memenuhi rasa keadilan kepada masyarakat,” urai Guntur. ( **)