Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Disabilitas

by -
Ilustrasi. Foto: Net.

Dalam konteks alat bukti keterangan saksi, konstelasinya pada prinsipnya dapat didistingsi menjadi dua aspek. Pertama, aspek substantif. Kedua, aspek formalitas. Pertama, aspek substantif. Meyangkut dua hal yakni pemenuhan substansi dari definisi keterangan saksi sebagaimana Pasal 185 ayat 1 KUHAP dan Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 serta pemenuhan kualitas kesaksian yang dapat dinilai dari persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu, cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Kedua, aspek formalitas. Menyangkut pemenuhan aspek-aspek formal terkait aksepbilitas keterangan saksi yakni pemenuhan sumpah sebelum memberikan kesaksian maupun pemenuhan formalitas terkait siapa saja yang dapat memberikan keterangan saksi. Perihal keterangan saksi yang tanpa disertai sumpah implikasi hukumnya dibedakan menjadi tiga yakni tidak dapat diterima sebagai alat bukti keterangan saksi, dapat menjadi tambahan alat bukti yang sah jika keterangannya sesuai dengan saksi yang disumpah (Pasal 185 ayat 7 KUHAP), serta dapat menjadi petunjuk sebagaimana penjelasan Pasal 171 KUHAP, manakala saksi yang memberikan keterangan tidak disumpah karena anak yang umurnya belum cukup 15 tahun atau belum pernah kawin maupun orang sakit ingatan atau sakit jiwa.

Keterangan Saksi Disabilitas

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas, disabilitas didefinisikan setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama, memiliki hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungan, dan menyebabkan keterbatasan dalam melaksanakan tugas atau kegiatan sehari-hari. Dari definisi tersebut, disabilitas pada prinsipnya dibedakan menjadi empat golongan yakni disabilitas fisik, intelektual, mental, dan sensorik.

Disabilitas fisik merupakan keterbatasan fisik atau mobilitas yang menggangu sistem otot, pernafasan, saraf, dan sistem gerak. Disabilitas sensorik merupakan keterbatasan pada fungsi alat indra seperti penglihatan atau pendengaran. Disabilitas intelektual merupakan keterbatasan fungsi kognitif karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata. Disabilitas mental merupakan keterbatasan emosi dan perilaku yang terdiri atas disabilitas psikososial (ex: orang gangguan jiwa atau memiliki masalah kejiwaan) dan disabilitas perkembangan (ex: autisme dan ADHD).

Selanjutnya, yang menjadi diskursus menarik, apakah seorang disabilitas dapat berperan sebagai saksi dengan memberikan keterangan saksi? Tentu saja. Sepanjang aspek substantif dan aspek formal terpenuhi, seorang disabilitas dapat memberikan keterangan saksi dan keterangan tersebut menjadi alat bukti yang sah. Basis yuridisnya, seorang disabilitas harus mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum dan diakui sebagai subyek hukum (Pasal 9 huruf a dan b UU Nomor 8 Tahun 2016). Kemudian, Pasal 25 ayat 4 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menegaskan bahwa keterangan saksi/korban penyandang disabilitas memiliki kekuatan hukum yang sama dengan keterangan saksi/korban yang bukan penyandang disabilitas.

Khusus untuk disabilitas mental terkait gangguan dan masalah kejiwaan, pun dapat memberikan keterangan tanpa sumpah. Dalam hal ini, keterangan tersebut memang tidak dapat diterima sebagai alat bukti yang sah dan hanya sekadar menjadi petunjuk, akan tetapi, jika keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah, maka nilai keterangan saksi itu dapat menjadi tambahan alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 185 ayat 7 KUHAP.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *