Maka dari itu, populisme dalam hukum pidana secara filosofis-yuridis, berakar dari amanat Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 untuk memberikan kebijakan afirmatif berupa perlindungan, sarana dan akses keadilan terhadap kelompok rentan yang dilandasi karena adanya situasi dan kondisi yang tidak setara sehingga diperlukan kebijakan afirmatif untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan. Kelompok rentan dalam optik hukum pidana meliputi masyarakat miskin, disabilitas, anak, orang tua dan perempuan. Kelompok rentan merupakan seseorang yang secara kondisi fisik, ekonomi, psikologis, dan sosial memiliki keterbatasan sehingga memiliki potensi dan kecenderungan untuk diperlakukan secara tidak adil dalam sistem peradilan pidana.
Hukum pidana yang dioperasionalisasi dalam sistem peradilan pidana memiliki dua karakter khas. Pertama, hukum pidana memiliki sanksi khusus bernama pidana. Pidana merupakan sanksi yang terberat diantara sanksi lapangan hukum lain. Sanksi pidana dapat merampas kemerdekaan diri hingga merampas nyawa. Oleh sebab itu, sebelum penjatuhan sanksi, harus dipastikan bahwa hak-hak hukum tersangka/terdakwa dalam proses peradilan harus terpenuhi agar terwujud equality before the law dan due procces of law. Kedua, penegakan hukum pidana merupakan sengketa antara negara (pemerintah) vs person.
Penegakan hukum pidana merupakan wujud orkestrasi kekuasaan negara (pemerintah) dalam menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum masyarakat. Pemerintah yang diwakili oleh kepolisian (Penyidikan) dan kejaksaan (penuntutan) melawan person yang diduga melakukan tindak pidana yang kemudian diadili oleh hakim di sidang pengadilan.
Dalam konstruksi sengketa pidana, secara relasi kuasa terdapat ketimpangan dimana orkestrasi kekuasaan pemerintah berhadapan dengan individu, terlebih jika individu yang diduga melakukan tindak pidana merupakan kelompok rentan, maka potensi kesewenang-wenangan akan semakin besar. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan populis baik secara hard approach (sarana/prasarana) maupun soft approach (aturan normatif) dalam sistem peradilan pidana untuk melindungi dan mewujudkan kesetaraan-keadilan dalam sistem peradilan pidana.
Beberapa kebijakan afirmatif terhadap kelompok rentan dalam sistem peradilan pidana. Pertama, pada anak. Peringanan dan pelunakan hukum terhadap anak: tidak bisa dijatuhi pidana mati dan seumur hidup, diversi, akses bantuan hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, pemeriksaan penyidikan di unit perempuan dan anak, jenis sanksi pidana pokok yang sifatnya mendidik (berbeda dengan orang dewasa), ruang sidang khusus anak, sidang didahulukan dari pada sidang biasa, penempatan khusus di tempat penahanan dan penjara dll.
Kedua, pada masyarakat miskin. Kewajiban penunjukan penasihat hukum gratis kepada masyarakat miskin yang disangka/didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun ke atas. Menurut penulis, terkait aspek pendampingan hukum dalam setiap tahap pemeriksaan seharusnya tidak sebatas pada tersangka/terdakwa yang diancam dengan pidana 5 tahun ke atas, tetapi juga diberlakukan kepada setiap tersangka/terdakwa yang tidak mampu (miskin) yang diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa. Selain itu, pendampingan hukum juga wajib diberikan kepada tersangka/terdakwa disabilitas, perempuan, dan kaum lansia (60 tahun ke atas) yang diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa. Maka kedepan perlu dilakukan reformasi hukum terkait penerapan akses bantuan hukum dalam hal ini perluasan afirmatif pendampingan hukum kepada kelompok rentan.
Ketiga, kelompok disabilitas. Sarana dan prasarana yang ramah difabel di pengadilan, pengurangan pidana dan/atau dikenakan sanksi tindakan terhadap disabilitas mental dan/atau intelektual yang melakukan tindak pidana (UU Nomor 1 Tahun 2023). Keempat, terhadap orang lanjut usia. Pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan bagi terdakwa berumur di atas 75 tahun dengan memperhatikan tujuan dan pedoman pemidanaan (UU Nomor 1 Tahun 2023). Kelima, perempuan. Ruang khusus laktasi di pengadilan, pemeriksaan penyidikan di unit perempuan dan anak, penahanan dan pemasyarakatan di tempat khusus perempuan.(**)