Menentukan Pelaku Utama dalam Penyertaan Tindak Pidana

oleh
Ilustrasi.(net)

Oleh: Pradikta Andi Alvat
CPNS Analis Perkara Peradilan (Proyeksi Calon Hakim)
Pengadilan Negeri Rembang

Penyertaan tindak pidana (deelneming) pada prinsipnya merupakan suatu tindak pidana yang dalam pelaksanaannya melibatkan lebih dari satu pelaku tindak pidana. Menurut Adami Chazawi (2008), penyertaan didefinisikan sebagai semua bentuk terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.

Secara garis besar, penyertaan dapat dibedakan menjadi dua golongan. Yakni pembuat tindak pidana (mededer) dan pembantu tindak pidana (medeplichtige). Pembuat tindak pidana sendiri dibedakan menjadi empat, yakni pleger, doenpleger, medepleger, dan uitlokker. Dalam KUHP, penyertaan pidana diatur dalam Pasal 55 dan 56.

Pleger adalah pelaku yang memenuhi semua unsur tindak pidana atau orang yang melakukan sekaligus yang menyelesaikan rumusan delik pidana dan melakukan tindak pidana tersebut dengan pelaku lain. Doenpleger adalah pelaku (manus domina) yang tidak melakukan suatu tindak pidana secara langsung melainkan menyuruh orang lain (manus ministra) sebagai alat untuk melakukannya, dimana orang yang disuruh melakukan tindak pidana tersebut tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.

Menurut Vos, yang disuruh melakukan tindak pidana tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena adanya alasan-alasan penghapus pidana. Misalnya menyuruh orang gila untuk memukuli orang lain, maka pihak materil (orang gila) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

Medepleger adalah pelaku yang turut serta melakukan tindak pidana. Dalam medepleger setidaknya harus ada dua pelaku, dan harus ada dua unsur yang terpenuhi, yakni kerjasama yang disadari untuk melakukan suatu delik pidana dan kehendak bersama untuk melakukan rumusan delik pidana tersebut (secara fisik). Yang menjadi unsur esensial dalam medepleger adalah para pelaku memiliki kehendak tujuan yang sama untuk terwujudnya delik. Dalam medepleger terdapat dua kemungkinan yakni, semua pelaku memenuhi semua unsur delik atau sebagian pelaku yang memenuhi semua unsur delik dan sebagian lain hanya memenuhi sebagian unsur delik.

Uitlokker merupakan penganjur tindak pidana yang mana anjuran tersebut menggunakan sarana-sarana limitatif sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 55 KUHP ayat (1) nomor 2 (memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan, dengan kekerasan dll). Terhadap penganjur tindak pidana, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya.

Contoh, seseorang yang membayar pembunuh bayaran untuk menghabisi nyawa orang lain. Pada uitlokker, pihak formil (yang menganjurkan) maupun materil (yang melakukan) dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Hal ini berbeda dengan doenpleger, dimana pihak materil tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Selanjutnya adalah pembantuan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP. Menurut Pasal 56 KUHP: “Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: 1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu; 2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu”.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

Ada dua unsur yang harus terpenuhi dalam pembantuan yakni adanya kesengajaan dan dilakukan sebelum atau saat dilakukannya tindak pidana. Dalam pembantuan tindak pidana, umumnya pidana pokok yang dijatuhkan dikurangi sepertiga (ada pembantuan yang dipidana sama atau lebih berat dari pelaku).

Yang menjadi pertanyaan menarik adalah siapakah pelaku utama dalam delik penyertaan? Mengingat tidak ada definisi yuridis (letterlijk) mengenai siapakah dan apa yang dimaksud dengan pelaku utama itu. Penentuan pelaku utama sendiri menjadi penting terkait penentuan status justice collaborator dalam tindak pidana tertentu sebagaimana ditentukan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Jika dilihat perspektif post-yuridis, maka menentukan pelaku utama terlihat lebih sederhana karena akan dilihat dari pelaku yang paling berat dijatuhi vonis pidana. Akan tetapi, jika dilihat sebelum putusan pengadilan, penentuan pelaku utama dalam delik penyertaan memiliki diskursus nan menarik.

Terkait pembantuan dan doenpleger, pelaku utamanya mungkin mudah untuk dikualifikasikan. Dalam pembantuan pelaku utamanya adalah pihak pleger yakni orang yang memenuhi semua unsur tindak pidana atau orang yang melakukan sekaligus yang menyelesaikan rumusan delik pidana. Dalam pembantuan, dalam beberapa kasus tertentu terdapat pengecualian terkait aturan bahwa pembantu dapat dipidana sama bahkan lebih berat dari pelaku utama.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

Dalam doenpleger, pelaku utamanya adalah manus domina (yang menyuruh melakukan), mengingat manus ministra (pelaku materil) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Kemudian, terkait medepleger, penentuan pelaku utama juga dapat dikualifikasi dengan ukuran pihak yang memiliki peran paling besar (yang paling banyak memenuhi rumusan delik/peran paling signifikan untuk mendorong terwujudnya delik).

Dapat ditarik konklusi, bahwa dalam pembantuan dan medepleger penentuan pelaku utama adalah terletak pada faktor kuantitas dan signifikasi peran. Sedangkan dalam doenpleger, status pelaku utama diletakkan pada sang main idea (orang yang memiliki kepentingan terkait terwujudnya delik).

Yang sangat menarik adalah bagaimana penentuan pelaku utama dalam uitlokker. Siapakah yang dapat dikualifikasi sebagai pelaku utama? Apakah penganjur (pelaku formil) yang notabene sang main idea atau yang melakukan (pelaku materil) yang notabene pihak yang memiliki peran paling signifikan bagi terwujudnya delik? Menurut hemat penulis, penentuan pelaku utama terkait penyertaan uitlokker mesti memerhatikan kompleksitas kasuistis, harus dilihat secara obyektif dalam berbagai faktor khususnya aspek relasi kuasa atau aspek yang paling besar mendapatkan advantage dari terjadinya delik, dari dua hal tersebut akan dapat ditarik kesimpulan siapakah yang paling berdosa (pelaku utama) dalam terjadinya delik.(**)