Ultra Petita Vonis Pidana

oleh
Ilustrasi.(net)

Oleh: Pradikta Andi Alvat
CPNS Analis Perkara Peradilan (Proyeksi Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang

Ultra petita adalah istilah yang lazim didengar dalam perkara perdata. Dalam perkara perdata, ultra petita bermakna bahwa putusan yang dijatuhkan oleh hakim melebihi apa yang dituntut oleh penggugat atau memberikan putusan atas sesuatu yang tidak dituntut oleh penggugat. Hal ini pada prinsipnya bertentangan dengan asas pokok hukum perdata terkait hakim yang bersifat pasif.

Asas hakim yang bersifat pasif mengandung makna bahwa hakim dalam perkara perdata hanya boleh menggali dan menjatuhkan putusan tidak lebih dari peiitum atau apa yang dituntut oleh penggugat. Jadi, luas pokok sengketa ditentukan oleh pihak yang berperkara yakni oleh penggugat berdasarkan petitum yang tertuang dalam surat gugatan bukan oleh hakim.

Larangan ultra petita bagi hakim dalam perkara perdata tertuang dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) jo Pasal 189 ayat (2) dan (3) jo Pasal 67 huruf C Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Asas ultra petita berbunyi asasiu dex non ultra petita atau ultra petita noncognoscitur yang artinya, jika hakim menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan melebihi apa yang diminta, maka putusan tersebut ultra vires dan harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan kepentingan umum.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

Asas ultra petita sejalan dengan sifat hukum perdata sebagai hukum privat yang berlandaskan pada asas konsensual. Dalam sengketa hukum privat, kepentingan hukumnya juga bersifat privat (sebatas pihak yang berperkara) sehingga luas pokok sengketa ditentukan oleh pihak yang berperkara bukan oleh hakim. Dalam memeriksa perkara dan menjatuhkan vonis, Hakim terikat pada petitum penggugat.

Oleh karena itu, tujuan dari hukum acara perdata adalah mencari kebenaran formil, kebenaran yang didasarkan pada bukti-bukti formal. Selain itu, kebenaran formil juga bisa dimaknai, dalam menjatuhkan vonis, hakim terikat oleh batas-batas yuridis yang ditentukan oleh pihak yang berperkara.

Hal ini berbeda dengan tujuan dari hukum acara pidana yang bertujuan untuk mencari kebenaran materil yakni kebenaran yang didasarkan pada alat bukti yang telah diuji secara obyektif sehingga menunjukkan kebenaran suatu peristiwa yang meyakinkan hakim. Maka dari itu, asas dalam hukum pidana mengatakan hakim bersifat aktif. Dalam arti, hakim harus aktif dan responsif untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil.

BACA JUGA :  Dikonfirmasi Soal Namanya Disebut Terima Rp2,5 Miliar dalam Kasus Korupsi BKKBI Tulungagung, Gus Ipul Pilih Bungkam

Dalam perkara pidana sendiri tidak lazim dikenal istilah ultra petita. Namun jika ultra petita dimaksudkan sebagai kondisi di mana hakim menjatuhkan vonis pidana melebihi tuntutan jaksa penuntut umum, maka hal tersebut bukan merupakan sebuah larangan. Tidak ada ketentuan di dalam KUHAP yang membatasi hakim untuk menjatuhkan vonis melebihi tuntutan jaksa penuntut umum.

Selain secara normatif-yuridisnya tidak ada larangan, membatasi hakim untuk tidak menjatuhi vonis yang melebihi tuntutan jaksa penuntut umum juga bertentangan dengan prinsip dan karakteristik hukum pidana sebagai hukum publik yang berbasis pada pencarian kebenaran materil.

Pada prinsipnya, hakim dalam perkara tindak pidana boleh menjatuhkan vonis pidana melebihi tuntutan jaksa penuntut umum, namun hakim tidak boleh menjatuhkan vonis pidana yang melebihi ancaman pidana yang tertuang dalam Pasal. Misalnya ancaman pidana penjara maksimal dalam sebuah Pasal 5 tahun, hakim menjatuhkan vonis 6 tahun penjara. Itu tidak boleh. Atau hakim menjatuhkan vonis pidana atas tindak pidana yang tidak tercantum dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum, itu juga tidak boleh.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

Dalam menjatuhkan vonis pidana, menurut Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, hakim terikat pada surat dakwaan jaksa penuntut umum (bukan surat tuntutan) dan segala sesuatu yang terbukti di sidang pengadilan yang didasarkan pada pemenuhan minimal 2 alat bukti dan keyakinan hakim (pembuktian negatif).