Posisi Yurisprudensi dalam Pembuktian Hukum Pidana

oleh
Ilustrasi. Foto (Net).

Oleh: Pradikta Andi Alvat
CPNS Analis Perkara Peradilan (Proyeksi Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang

 

Pembuktian dalam penegakan hukum pidana menjadi unsur fundamental karena menjadi penentu apakah seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana memiliki dua unsur yang harus terpenuhi secara paralel yakni unsur kesalahan (unsur subyektif) dan unsur perbuatan melawan hukum (unsur obyektif). Secara teoritik, pembuktian dalam hukum pidana memiliki relasi-konstelasi yang satu sama lain mengandung hubungan respirokal. Menurut Prof. Eddy O. S. Hiariej dalam buku Teori dan Hukum Pembutkian (2012), pembuktian dalam hukum pidana memiliki beberapa konstelasi teoritik.

Pertama, bewijstheorie. Teori yang membahas mengenai dasar pembuktian hakim dalam menjatuhkan vonis. Bewijstheorie memiliki 4 teori, yakni teori pembuktian conviction in time, yang meletakkan keyakinan hakim semata sebagai dasar menjatuhkan vonis. Kemudian teori pembuktian conviction in raisone, yang meletakkan keyakinan hakim semata sebagai dasar menjatuhkan vonis, namun harus disertai alasan yang logis.

Selanjutnya, teori pembuktian positif, yang meletakkan pemenuhan alat bukti semata tanpa pemenuhan keyakinan hakim sebagai dasar menjatuhkan vonis. Terakhir, teori pembuktian negatif, yang meletakkan keyakinan hakim dan pemenuhan alat bukti sebagai dasar menjatuhkan vonis. Pembuktian dalam hukum pidana Indonesia sendiri menganut teori pembuktian negatif sebagaimana tertuang dalam Pasal 183 KUHAP.

Kedua, bewijsmiddelen. Teori yang membahas mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah digunakan sebagai dasar validitas pembuktian dalam hukum pidana. Menurut hukum acara pidana Indonesia (Pasal 184 KUHAP), alat bukti yang sah digunakan terdiri atas: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa, dan petunjuk. Dalam hukum pidana khusus, juga dikenal alat bukti lain selain dari pada yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP, misalnya alat bukti dokumen elektronik dalam UU Terorisme serta UU ITE.

Ketiga, bewijsvoering. Teori yang membahas mengenai bagaimana cara untuk menyampaikan alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan. Dalam hal ini menyangkut bagaimana formalitas suatu alat bukti, atau bagaimana prosedur formil dalam mendapatkan alat bukti. Pemenuhan formalitas alat bukti akan menentukan keabsahan suatu alat bukti dalam pembuktian di pengadilan.

BACA JUGA :  Dikonfirmasi Soal Namanya Disebut Terima Rp2,5 Miliar dalam Kasus Korupsi BKKBI Tulungagung, Gus Ipul Pilih Bungkam

Contoh relevan dalam hukum pidana Indonesia terkait bewijsvoering, misalnya terkait alat bukti elektronik yang berdasarkan Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai dalam rangka penegakan hukum atas permintaan penegak hukum (ketentuan ini menjadi syarat formal alat bukti elektronik).

Keempat, bewijslast. Teori yang membahas mengenai pengaturan beban pembuktian dalam hukum pidana. Terdapat 3 doktrin dalam hal ini, yakni pembuktian biasa, disini beban pembuktian sepenuhnya menjadi domain jaksa penuntut umum. Berikutnya, pembuktian terbalik murni, dimana beban pembuktian mutlak menjadi domain terdakwa. Terakhir, pembuktian terbalik terbatas, disini beban pembuktian menjadi domain jaksa penuntut umum maupun terdakwa.

Kelima, bewijskracht. Teori yang membahas mengenai kekuatan dari suatu alat bukti. Jika di dalam hukum perdata, kekuatan alat bukti tidak sederajat, dimana dapat dibedakan menjadi 3: kekuatan biasa (bebas terserah hakim misalnya alat bukti saksi), kekuatan sempurna (harus dipercaya hakim namun memungkinkan untuk dibuktikan sebaliknya oleh pihak lawan misalnya alat bukti akta otentik), dan kekuatan menentukan (harus dipercaya hakim dan tidak dimungkinkan untuk dibuktikan sebaliknya oleh pihak lawan misalnya alat bukti sumpah decisoir). Sedangkan dalam hukum pidana, semua alat bukti memiliki kekuatan yang setara, tidak ada yang lebih kuat.

Keenam, bewijsminimum. Teori yang membahas mengenai standar minimal atau minimal jumlah alat bukti sebagai dasar validitas untuk menjatuhkan vonis. Dalam hukum pidana Indonesia, standar minimum pemenuhan alat bukti untuk menjatuhkan vonis jumlahnya adalah minimal dua alat bukti, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP.

Yurisprudensi dalam Pembuktian Hukum Pidana


Yurisprudensi berasal dari kata latin jurisprudentia, yang memiliki arti penghetahuan hukum. Menurut Prof. Subekti, yurisprudensi didefinisikan sebagai putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai sebagai pengadilan kasasi atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Prof. Muladi mendefinisikan yurisprudensi sebagai himpunan putusan hakim yang dianggap sebagai sumber hukum yang dapat dipakai sebagai rujukan hakim dalam memutus perkara yang serupa. Konklusinya, yurisprudensi adalah putusan hakim terdahulu yang menjadi rujukan bagi hakim-hakim lainnya dalam memutus suatu perkara hukum.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

Menurut hasil penelitian BPHN (1995) terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu putusan hakim memiliki legitimasi yuridis sebagai yurisprudensi. Pertama, putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Ketiga, telah berulangkali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama. Keempat, putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan. Kelima, putusan tersebut telah dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Yurisprudensi secara prinsipil lebih lazim diterapkan pada negara hukum yang menganut tradisi common law, dimana meletakkan putusan pengadilan sebagai sumber hukum utama dengan asas the binding force of precedent. Sedangkan di negara hukum yang menganut tradisi civil law, meletakkan hukum tertulis (UU) sebagai sumber hukum utama sebagaimana negara Indonesia. Hal ini berderivasi pada perbedaan fungsi yurisprudensi di negara common law dan civil law.

Di negara common law, yurisprudensi berfungsi sebagai rujukan utama hakim dalam memutus suatu perkara hukum yang bersifat imperatif dengan asas binding force of precedent. Sedangkan di negara civil law, yurisprudensi berfungsi sebagai sumber hukum subsidaritas manakala terjadi kekosongan, ketidakjelasan, dan kekurangan pada sumber hukum UU. Secara normatif, berdsarkan UU Nomor 12 tahun 2011 jo UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yurisprudensi sendiri tidak dikenal sebagai sumber hukum di Indonesia, namun dalam praktik peradilan, penerapan yurisprudensi tetap memiliki daya eksistensi.

BACA JUGA :  Dikonfirmasi Soal Namanya Disebut Terima Rp2,5 Miliar dalam Kasus Korupsi BKKBI Tulungagung, Gus Ipul Pilih Bungkam

Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana posisi yurisprudensi dalam pembuktian hukum pidana, apakah bisa yurisprudensi menjadi dasar validitas yuridis untuk menyatakan bersalah dan memvonis pidana seorang terdakwa? Mengacu pada prinsip asas legalitas sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (1) KUHP dan prinsip diferensial fungsional dalam sistem peradilan pidana, maka yurisprudensi tidak dapat menjadi dasar validitas untuk menyatakan bersalah dan menghukum seorang terdakwa, tetapi dapat menjadi dasar argumentasi yuridis untuk memperkuat vonis yang dijatuhkan.

Di sisi lain, yurisprudensi dapat menjadi dasar argumentasi untuk menyatakan tidak bersalahnya seorang terdakwa dan membebaskannya, dalam hal ini yurisprudensi berperan sebagai legal reasoning (dasar pertimbangan hukum) seorang hakim untuk menyatakan tidak terpenuhinya unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan. Terkait hal ini, direfleksikan oleh yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 42/K/Kr/1966 tentang dianutnya ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi negatif yang mengkonstruksikan hapusnya sifat melawan hukum suatu perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana sepanjang negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa tidak mendapat untung. Putusan ini diikuti oleh putusan MA Nomor 71/K/1970 dan putusan Nomor 81/K/Kr/1973.

Yurisprudensi dalam pembuktian hukum pidana juga berfungsi untuk menjelaskan rumusan-rumusan pasal yang tidak jelas. Misalnya dalam yurisprudensi nomor 2/Yur/Pid2018 yang memaknai frasa “diketahui atau sepatutnya harus diduga diperoleh dari kejahatan” dengan dua hal. Pertama, barang dijual dibawah harga standar. Kedua, apabila seseorang membeli kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan yang sah.

Simplifikasinya, posisi yurisprudensi dalam pembuktian hukum pidana memiliki dua sisi yakni sebagai rujukan dan dasar pertimbangan hukum serta untuk menjelaskan makna rumusal pasal yang tidak jelas. Namun, yurisprudensi tetap tidak bersifat imperatif, mengingat tidak dianutnya asas the binding force of precedent.