Dark Number Perspektif Teori Hukum

oleh
Ilustrasi. Foto : Net

Oleh: Pradikta Andi Alvat
CPNS Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang

Dalam khasanah ilmu krimologi dikenal adanya istilah dark number. Istilah dark number merupakan pengejawantahan dari kondisi dimana statistik formal kejahatan tidak mencerminkan sebagaimana realitas empirisnya. Dalam arti, data kejahatan yang terinventrisasi pada lembaga kepolisian dan pengadilan tidak merefleksikan jumlah atau ekskalasi dari praktik kejahatan yang sebenarnya.

Simplifikasinya, dark number adalah jumlah kejahatan yang tidak terungkap dalam data kejahatan secara formal. Fenomena seperti ini lazim kita temui dalam realitas kehidupan berhukum kita. Ambil contoh sederhana saja, apakah data pelanggaran lalu lintas secara formal di kepolisian maupun pengadilan mencerminkan realitas dari jumlah pelanggaran lalu lintas secara real? Tentu tidak. Secara real, jumlah pelanggaran lalu lintas mungkin puluhan kali lipat dari data yang sebenarnya.

Terdapat beberapa alasan dan kondisi yang menyebabkan fenomena dark number itu terjadi. Secara subyektif ada 3 faktor yang melatarbelakanginya yakni, faktor penegak hukumnya yang secara integritas tidak mau atau tidak serius mengungkapnya sehingga penegakan hukum tidak optimal, yang secara mutatis mutandis menyebabkan data kejahatan tidak mencemrinkan realitasnya, faktor jangkauan kapasitas dalam hal ini terhalang faktor sumberdaya manusia maupun sarana, dan terakhir, adalah faktor rendahnya trust masyarakat terhadap institusi penegak hukum sehingga menyebabkan masyarakat lebih memilih diam ketika menjadi korban kejahatan (ex: pencurian bermotor) dari pada melapor ke institusi penegak hukum.

BACA JUGA :  Berkat Penanganan Korupsi Tata Kelola Timah, Kejaksaan Agung Raih 74% Kepercayaan Publik

Selanjutnya, dalam kerangka teoritis, fenomena dark number setidaknya dapat ditelaah dalam beberapa pendekatan teori ilmu hukum, yang menurut penulis, cukup relevan sebagai pisau analisis untuk menganalisa fenomena dark number itu sendiri dihubungkan dengan 3 kondisi subyektif di atas.

Pertama, teori efektivitas hukum. Efektivitas penegakan hukum pidana sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel sebagaimana telaah dari teori efektivitas hukum, Soerjono Soekanto dalam buku Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (2008), yang meliputi: faktor hukumnya sendiri (aturan), faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.

Dalam perspektif teori efektivitas hukum dapat ditelaah bahwa dark number merupakan ekses dari tidak idealnya faktor penegak hukum (kurang profesional), faktor sarana dan prasarana (yang tidak mendukung), faktor masyarakat (dis-trust terhadap isntitusi hukum) hingga faktor kebudayaan (tidak terbangun budaya hukum yang baik).

BACA JUGA :  Andar GACD Desak Hasyim Asy'ari Mundur dari Jabatan Ketua KPU RI

Kedua, teori bekerjanya hukum. Berdasarkan teori bekerjanya hukum, Robert B. Seidman dan Wiliamm J Chambliss, dijelaskan bahwa proses bekerjanya hukum itu dipengaruhi oleh empat komponen utama yaitu lembaga pembuat hukum, birokrasi penegakan hukum, para pemegang peran, dan pengaruh kekuatan personal maupun sosial. Selanjutnya keempat komponen tersebut membentuk sebuah relasi integral yang saling mempengaruhi.

Oleh karena itu, bekerjanya hukum secara empiris (das sein) akan dihadapkan pada relasi-relasi secara personal maupun bingkai struktur sosial secara komprehensif. Berbagai dimensi non-hukum turut berpengaruh bahkan melakukan intervensi (arti negatif) maupun bergaining position/internalization (arti positif) yang berpengaruh dalam proses-proses bekerjanya hukum. Baik dari tahap formulasi, aplikasi, hingga eksekusi.

Dalam perspektif teori bekerjanya hukum dapat ditelaah bahwa dark number merupakan implikasi dari tidak optimalnya penegakan hukum baik yang disebabkan oleh faktor struktural maupun faktor personal.

Ketiga, teori penegakan hukum oleh Joseph Goldstein. Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi tiga bagian. Total enforcement, full enforcement, dan actual enforcement. Total enforcement. Adalah penegakan hukum pidana sebagaimana dirumuskan oleh hukum pidana materil (substantif). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin bisa diaktualisasikan secara real mengingat adanya pembatasan-pembatasan prosedural dalam hukum acara pidana. Selain itu, terkadang hukum pidana materil itu sendiri yang memberikan batasan-batasan, misalnya terkait delik aduan.

BACA JUGA :  Berkat Penanganan Korupsi Tata Kelola Timah, Kejaksaan Agung Raih 74% Kepercayaan Publik

Full enforcement. Adalah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang tersisa dari area total enforcement. Dalam penegakan hukum pidana full enforcement penegak hukum diharapkan mampu menegakkan hukum pidana secara maksimal, walaupun ada keterbatasan-keterbatasan praktis.

Actual enforcement. Menurut Joseph Golstein, full enforcement dianggap sebagai not a realistic expectation yang disebabkan adanya keterbatasan-keterbatasan teknis seperti jumlah personil, sarana dan pra-sarana, maupun biaya yang pada akhirnya mengharuskan adanya diskresi maupun keterasingan jangkauan penegakan hukum (penegakan hukum asimetris).

Sisa area dari total enforcement dan full enforcement inilah yang disebut sebagai actual enforcement. Dalam perspektif teori penegakan hukum oleh Joseph Goldstein dapat ditelaah bahwa dark number adalah derivasi dari pada realitas actual enforcement yang menyebabkan terjadinya penegakan hukum asimetris, sehingga banyak kejahatan yang tidak tersentuh.