Historisitas Asas Legalitas

oleh
Pradikta Andi Alvat

Oleh: Pradikta Andi Alvat
CPNS Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang

Dalam kerangka historisitas, hukum pidana memiliki afiliasi erat dengan sejarah peradaban bangsa Eropa. Dimulai dari era dark age, yakni era dimana absolutisme gereja eksis. Di era ini, sumber kebenaran mutlak ada di tangan gereja (Katholik), tidak ada tempat bagi rasionalitas manusia dan empirisitas.

Jika rasionalitas seseorang bertentangan dengan doktrin gereja, maka orang tersebut dianggap melawan ajaran agama dengan konsekuensi akan mendapatkan hukuman dari otoritas gereja sebagai manifestasi wakil Tuhan, sebagaimana yang dialami oleh Galileo Galilei yang mendukung teori Copernicus, bahwa pusat alam semesta adalah matahari bukan bumi sebagaimana ajaran gereja.

Setelah era dark age yang ditandai dengan absolutisme gereja, kemudian bangsa Eropa memasuki era pertengahan (rennaisance) yang ditandai tumbuhnya budaya berpikir sekaligus klise absolutisme raja. Pada era ini, peran dan kuasa seorang raja sangat dominan. Maka munculah yang dinamakan crimine extra ordinaria, yakni otoritas yang dimiliki oleh seorang raja untuk menentukan apa saja yang termasuk perbuatan jahat (crimina stellionatus) dan jenis sanksi apa yang dijatuhkan.

Hal tersebut membuat raja cenderung menjadi sewenang-wenang. Ia bisa saja menghukum seseorang tanpa alasan yang rasional (subyektif), dan itulah yang terjadi di Eropa pada abad pertengahan. Kondisi tersebut mendorong lahirnya pemikir-pemikir barat yang tumbuh dengan intelektualitasnya untuk menentang kultur absolutisme raja. Salah dua diantaranya, Mostesqiu dan J.J. Rousseau yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan raja.

Titik balik hukum pidana di Eropa adalah pada kasus Jean Calas yang dituduh oleh pengadilan kerajaan Perancis telah membunuh anaknya sendiri Antoine Calas pada tahun 1762. Dalam kasus tersebut, Jean Calas akhirnya dijatuhi hukuman mati (gantung) karena dianggap telah membunuh anaknya, Antoine Calas. Proses peradilan terhadap Jean Calas sendiri jauh dari obyektifitas mengingat kekuasaan raja sangat dominan.

Kemudian, 3 tahun setelahnya, Voltaire mengajukan upaya hukum untuk pemeriksaan ulang atas kasus tersebut, yang didapati fakta bahwa Antoine Calas meninggal dunia karena bunuh diri bukan dibunuh oleh Jean Calas, ayahnya. Jean Calas terbukti tidak bersalah dan harus diputus bebas, namun ia sudah terlanjur meregang nyawa.

Atas peristiwa yang menimpa Jean Calas, ahli hukum asal Italia, Cessare Beccaria dalam bukunya yang berjudul Dei Delitti E Delle Pene mengungkapkan bahwa undang-undang pidana seharusnya dibentuk berdasarkan asas-asas yang bersifat rasional untuk menghindari subyektifitas dan kesewenang-wenangan penguasa sekaligus menjadi basis legitimasi sebelum menjatuhkan hukuman. Pendapat Beccaria ini kemudian mempengaruhi dicantumkannya prinsip pembatasan kekuasaan raja (penguasa) dan penghormatan hak individu (kerangka asas legalitas) dalam Deklarasi Perancis tahun 1789, yang merupakan puncak revolusi Perancis.

Kemudian pada tahun 1801, ilmuwan hukum asal Jerman, Johan Anselm Von Feurbach menjadi orang pertama yang merumuskan asas legalitas secara gamblang dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch Des Gemeinen in Deutschland Giiltigen Peinlichen Rechts, dimana terdapat postulat yang melegenda “Nullum dellictum nulla poena sine praevia lege poenalli”.

Postulat tersebut kemudian terderivasi menjadi 3 bagian. Pertama, nulla poena sine lege (tiada hukuman pidana tanpa ketentuan menurut undang-undang). Kedua, nulla poena sine crimen (tiada hukuman pidana tanpa perbuatan pidana). Ketiga, nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang).

Buku yang ditulis oleh Von Feurbach tersebut ditulis dengan ghiroh dan spirit revolusi bangsa Eropa dari absolutisme raja, yang diinspirasi oleh berhasilnya Revolusi Perancis (1789). Pemikiran Von Feurbach tersebut kemudian menjadi mailstone bagi internalisasi asas legalitas dalam pembentukan hukum di berbagai negara, termasuk dalam KUHP positif kita yang merupakan translate dari KUHP Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan pada tahun 1888 di Belanda.

Oleh sebab itu, dari pemaparan di atas, secara historis, asbabun nuzulnya asas legalitas dilatarbelakangi oleh dua kondisi. Pertama, adanya kekuasaan yang sewenang-wenang (absolutisme raja). Kedua, kesadaran kolektif untuk memperjuangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia melalui kontrak sosial sebagai rule demi membangun peradaban yang lebih baik.