Penegakan Hukum dan Korupsi Ekstorsif

oleh
Ilustrasi. Foto: (Net)

Oleh: Pradikta Andi Alvat
CPNS Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang

Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa latin corruptio yang merupakan kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, kotor, menggoyahkan, dan memutarbalik. Dalam arti yang literal, segala perbuatan yang berafiliasi dengan karakter dan sifat tersebut digolongkan sebagai korupsi.

Vito Tanzi dalam buku Corruption Around The World sebagaimana dikutip oleh Chaerudin dalam buku Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi (2008) membagi tipologi korupsi menjadi 7 golongan. Pertama, korupsi transaksional. Korupsi yang terjadi atas kesepakatan seorang donor dan resipien untuk keuntungan keduanya.

Kedua, korupsi ekstorsif. Korupsi yang melibatkan penekanan atau pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau dekat dengan pelaku korupsi. Ketiga, korupsi invensif. Korupsi yang berawal dari tawaran investasi untuk mengakomodasi adanya keuntungan di waktu yang akan datang.

Keempat, korupsi nepotistik. Korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus khususnya terkait proyek-proyek bagi keluarga dekat. Kelima, korupsi otogenik. Korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan sebagai orang dalam tentang kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan. Keenam, korupsi supportif.

Perlindungan dan penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan. Ketujuh, korupsi defensif. Korupsi yang dilakukan untuk mempertahankan diri dari pemerasan.

Dalam konteks birokrasi pemerintahan dan penyelenggaraan negara, tipologi-tipologi korupsi sebagaimana dijelaskan oleh Vito Tanzil merupakan fenomena empirik yang kerap terjadi. Korupsi ekstorsif misalnya. Korupsi ini rawan terjadi pada aparatur penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melaksanakan tugas dan fungsi penegakan hukum, khususnya dalam konteks hukum pidana, terlebih hukum pidana khusus (tipikor).

Secara yuridis, penegakan hukum sendiri merupakan kegiatan untuk menegakkan dan memfungsikan norma-norma hukum sebagai pedoman perilaku dalam relasi hubungan privat (hukum privat) maupun perkara publik (hukum publik). Secara lebih konkret, penegakan hukum dapat diartikan sebagai usaha menegakkan hukum materil dengan menggunakan sarana hukum formil.

Korupsi ekstorsif rawan terjadi dalam penegakan hukum pidana pada prinsipnya disebabkan oleh empat faktor. Pertama, birokrasi yang korup. Korupsi ekstorsif pada dasarnya merupakan intervensi kekuasaan baik personal maupun institusional untuk melindungi dan memproteksi pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana korupsi agar ‘save’ atau setidaknya meringankan kondisi dengan memberikan feedback materil. Birokrasi yang korup merupakan borok yang menjadi lahan subur sebagai obyek pemerasan. Oleh sebab itu, birokrasi yang korup merupakan lahan subur bagi tumbuhnya korupsi ekstorsif.

Kedua, kewenangan aparatur penegak hukum. Kewenangan merupakan dua sisi yang bertolak belakang. Pada satu sisi, bisa digunakan untuk hal-hal yang konstruktif (jika digunakan sebagaimana mestinya dengan nilai moral dan etika profesi), di sisi yang lain, dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat koruptif-destruktif (memanfaatkan kewenangan untuk hal-hal koruptif-materialistik).

Ketiga, integritas moral aparat. Korupsi ekstorsif terjadi manakala terdapat dua kondisi yang saling melengkapi, yakni birokrasi yang korup dan rusaknya integritas moral aparatur penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum. Keduanya, bersifat simbiosis mutualistik. Birokrasi yang korup (memiliki sokongan materil) membutuhkan perlindungan, aparatur penegak hukum nir-integritas yang memiliki wewenang penegakan hukum memerlukan entitas materil.

Keempat, sanksi pidana sebagai sanksi istimewa. Sanksi pidana sebagai sanksi istimewa dalam arti merupakan sanksi yang terberat diantara lapangan hukum lain, sanksi pidana dapat merampas kemerdekaan diri dan bahkan nyawa seseorang. Dengan konsekuensi yang berat tersebut, maka orang-orang yang secara yuridis seharusnya dikenai sanksi pidana akan mencari “perlindungan” pada yang memiliki kewenangan penegakan hukum. Dan disnilah ruang subur terjadi korupsi ekstorsif.