Lambannya Peran Perguruan Tinggi Dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

oleh
Sabina Salsabila

Penulis : Sabina Salsabila, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

FORUMKeadilanbabel.com, Perguruan Tinggi merupakan tempat untuk para generasi penerus bangsa dalam menimba ilmu, namun bukan hal yang baru lagi bahwa di lingkungan perguruan tinggi menjadi salah satu tempat yang sangat rentan akan terjadinya kekerasan seksual.

Hal ini dibuktikan dengan Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan), selama 2015-2020, menunjukkan kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan dan kasus yang paling tinggi berasal dari jenjang universitas dengan angka 27 persen. Pada dasarnya, yang menjadi korban tidak mengenal batasan usia, gender, kelas sosial sebab kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapapun tanpa adanya tanda-tanda yang terlihat.

Perguruan Tinggi menjadi fokus pertama negara dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual yang kian marak terjadi. Negara melalui perangkatnya yaitu Kemendikbudristek telah menerbitkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang menjadi acuan perguruan tinggi untuk mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Namun, sejak diberlakukannya pada 03 September 2021 sampai saat ini masih banyak perguruan tinggi yang belum mampu menjalankan amanah dari Permendikbudristek tersebut.

Hal ini terbukti bahwa masih banyaknya suara-suara yang berkumandang oleh kalangan mahasiswa baik melalui tulisan maupun aksi demontrasi untuk menuntut kampusnya segera melaksanakan Permendikbudristek ini seperti yang baru ini terjadi di Universitas Bangka Belitung pada Kamis, 24 Maret 2022.

Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual di Kampus

Bukankah ketika berbicara soal kekerasan seksual, kita juga perlu mengetahui mengenai apa penyebab tindakan kekerasan seksual terjadi? Para ilmuwan psikologi menemukan sebuah penjelasan lain mengenai agresi atau insting yang mana terjadi lantaran adanya suatu dorongan atau kemudian dikenal dengan teori dorongan. Teori ini berpandangan bahwa agresi muncul dari berbagai kondisi eksternal seperti rasa frustasi, sehingga membangkitkan motif kuat untuk menyakiti orang lain. Pada akhirnya, seseorang melakukan tindakan agresi nyata berupa kekerasan seksual. Menurut penulis, penyebab lainnya bisa saja berasal dari faktor lingkungan, seseorang yang memiliki masa lalu terkait dengan perilaku agresi, seperti menjadi korban KDRT atau pernah menyaksikannya bisa memengaruhi psikisnya apabila tidak tertangani dengan baik.

BACA JUGA :  Polisi Dalami Keterlibatan Abok Bos Kolektor Timah Akim?

Di perguruan tinggi, penanganan kasus kekerasan seksual tergolong masih sangat lemah. Hal ini dikarenakan pelakunya adalah orang berkepentingan di lingkungan kampus seperti dosen, mahasiswa ataupun karyawan kampus sehingga turut menyebabkan keengganan korban untuk melapor.

Dampak lebih jauh adalah minimnya akses korban terhadap pemulihan terutama penanganan psikologis korban agar dapat kembali ke dalam proses belajar yang menjadi hak pendidikannya. Selain itu, penanganan kasus kekerasan seksual masih sering disamakan dengan pelanggaran etik lainnya, padahal kekerasan seksual bersifat khas dan mengalami kerentanan berlapis.

Peranan Perguruan Tinggi Dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Dalam Kampus
Kabar kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi menjadi perbincangan yang tak pernah habis di kalangan publik. Banyak kasus kekerasan seksual di kampus yang tidak ditangani dan sebagian besar korbannya adalah perempuan. Beberapa kampus dinilai menutup-nutupi kasus kekerasan seksual karena khawatir isunya akan mencederai nama baik institusi. Hal inilah yang menjadi dasar diberlakukannya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

BACA JUGA :  Bupati Riza Apresiasi Atas Pembangunan Hotel Sewarna Manunggal Toboali

Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dinilai sebagai suatu langkah konkrit di tengah keresahan akan tingginya kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi. Permendikbudristek ini memiliki urgensi penting dalam mengubah paradigma kekerasan seksual dari bersifat privat menjadi publik. Kasus kekerasan seksual bukan hal tabu yang harus disembunyikan korban. Amanat Permendikbudristek ini menekankan sebuah pakem kebijakan perguruan tinggi dan mekanisme pencegahan serta penanganan kekerasan seksual berperspektif korban. Korban tidak perlu malu untuk melaporkan apabila melihat atau mengalami kekerasan seksual sehingga aturan ini menjadi angin segar sebagai solusi pembentukan kerangka pencegahan dan penanganan yang ideal terhadap kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Perguruan Tinggi dalam melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus melalui satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual Hal ini secara jelas diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Permendikbud ini bahwa Dalam pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, Pemimpin Perguruan Tinggi membentuk Satuan Tugas di tingkat Perguruan Tinggi.

Lebih lanjut, diatur dalam Pasal 6 yaitu bentuk-bentuk pencegahan kekerasan seksual oleh kampus melalui 1)pembelajaran, 2)penguatan tata kelola dan 3)penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik dan tenaga kependidikan. Selain itu, Pasal 10 mengatur bentuk-bentuk penanganan kekerasan seksual oleh kampus melalui 1)pendampingan, 2)perlindungan, 3)pengenaan sanksi administratif dan 4)pemulihan korban. Penulis menilai poin penting dalam Permendikburistek ini adalah mengacu pada adagium yang berbunyi “mencegah lebih baik daripada mengobati”. Hal ini mengartikan bahwa bentuk-bentuk pencegahan menjadi prioritas dalam mengatasi kekerasan seksual terutama dalam bentuk penguatan tata kelola yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) mulai dari merumuskan kebijakan, membentuk satgas dan seterusnya.

BACA JUGA :  Pimpin Kegiatan Baznas, Wabup Debby Ajak Seluruh Elemen Masyarakat untuk Menunaikan Zakat

Sanksi Terhadap Kampus Yang Lamban
Sebagai bentuk keseriusan negara melalui perangkatnya dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual di kampus, tentunya ada sanksi yang berlaku apabila kampus dalam hal ini lamban dalam melaksanakan Permendikbudristek ini. Sanksi yang diberlakukan berbentuk sanksi administratif yang diharapkan akan memberikan dorongan lebih terhadap kampus untuk fokus dan segera melaksanakan Permendikbudristek ini.

Hal ini diatur secara jelas dalam Pasal 19 bahwa Perguruan Tinggi yang tidak melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dikenai sanksi administratif berupa:

a. penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk Perguruan Tinggi; dan/atau

b. penurunan tingkat akreditasi untuk Perguruan Tinggi. Sebagai tolak ukur, Permendikbudristek ini telah memberikan batasan waktu untuk kampus membentuk satgas sebagai pelaksana pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus yaitu paling lama satu tahun sejak Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 ini berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (2).

Penulis harap, seluruh kampus yang ada di Indonesia dapat menunjukkan keseriusannya dengan segera mengatasi permasalahan kekerasan seksual melalui kewajiban-kewajiban yang sudah diatur dalam Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. Kampus harus segera mengadopsi Permendikbudristek ini menjadi peraturan rektor yang akan menjadi pedoman serta membentuk satgas dalam melaksanakan pencegahan dan penangan kekerasan seksual di kampus. Hal ini guna menjadikan kampus seutuhnya sebagai tempat mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai tujuan dari Negara Republik Indonesia tercinta. Selain itu, hal tersebut menghindarkan kampus dari sanksi-sanksi yang akan berdampak besar terhadap kemajuan kampus itu sendiri.(**)