Memutus Rantai Korupsi

oleh
Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.
Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.

Salah satu tujuan berdirinya negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan tersebut hanya akan bisa terwujud jika didukung dengan adanya tata kelola pemerintahan dan birokrasi yang baik dan akuntabel. Yang mengejawantah dengan minimnya praktik korupsi.

Dalam konteks sistem hukum nasional, korupsi sendiri merupakan tindak pidana yang tergolong sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang memiliki dampak negatif secara luas, sehingga memerlukan treatments luar biasa pula.
Menurut Peter Eigen (2003) dampak korupsi tidak hanya mengancam lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan institusi-institusi demokrasi, tetapi juga menghambat pembangunan dan memiskinkan masyarakat.
Konkritnya, korupsi merupakan causa absolut bagi terhambatnya tata kehidupan negara yang ideal dan kondusif.

Pasca reformasi, ghiroh kebangsaan untuk memberantas korupsi sebenarnya menjadi agenda strategis. Perbaikan substansi dan struktur untuk mendukung pemberantasan korupsi diperkuat. Pembuatan UU Pemberantasan Korupsi, pembentukan KPK, hingga pembentukan pengadilan khusus tipikor. Namun, hal tersebut nampak belum memberikan dampak signifikan bagi kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia. Kondisi pemberantasan korupsi justru semakin flop. Rilis terbaru, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2020 pun turun.

Berdasarkan rilis dari Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2020 berada di rangking 102 dengan skor 37 atau turun 3 poin dari tahun 2019. Posisi tersebut menempatkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dibawah Timor Leste yang memiliki skor 40. Artinya, kondisi pemberantasan korupsi di Timor Leste saat ini lebih baik dari “saudara tuanya” Indonesia. Sungguh miris.

Beberapa indikator dari Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sendiri banyak mengalami penuruan, seperti: IMD World Competitivennes Yearbook yang turun 5 poin, Perc Asia turun 3 poin, dan Varietas of Democracy yang turun 2 poin. Kondisi ini seyogyanya harus menjadi bahan introspeksi bagi semua elemen bangsa untuk memperkuat peran dan soliditas dalam mendorong terwujudnya kondusifitas pemberantasan korupsi.

Problematika korupsi di Indonesia pada hakikatnya bersifat struktural. Dalam teori struktural fungsional Anthony Giddens, problema korupsi di Indonesia disebabkan oleh rendahnya daya dukung sub-sistem sosial dalam rangka melawan praktik dan gejala korupsi. Sub-sistem sosial yang dimaksud adalah bidang sosial, politik, budaya, ekonomi dan hukum.

Di bidang sosial, responsibilitas masyarakat terhadap pemberantasan korupsi masih lemah. Masyarakat masih belum memahami posisi strategis mereka dalam mencegah dan memberantas korupsi. Di bidang politik, kultur oligarki dan nilai materialistis dalam tubuh partai politik yang notabene merupakan infrastruktur politik menyebabkan ongkos politik tinggi sehingga kondisi tersebut menjadi causa strategis bagi terjadinya praktik-praktik korupsi. Di bidang budaya, praktik-praktik korupsi konvensional yang merupakan bibit bagi suburnya praktik korupsi masih menjalar masif. Praktik ketidakjujuran dan kecurangan masih sering kita lihat dalam relasi sosial.

Di bidang ekonomi, masih tingginya angka kemiskinan menyebabkan nilai idealisme masyarakat tergerus. Sehingga hal tersebut menjadi pintu masuk bagi terjadinya praktik-praktik korupsi yang melibatkan masyarakat sebagai obyeknya. Di bidang hukum, rendahnya vonis pada koruptor dan lemahnya pencegahan menjadi masalah pokok, mengapa penegakan hukum di bidang korupsi belum mampu berperan efektif untuk menekan praktik korupsi. Konklusinya, gerakan yang efektif untuk memutus mata rantai korupsi adalah dengan melakukan perbaikan secara integral dalam bidang sosial, politik, budaya, ekonomi, dan hukum.

Solusi

Pertama, bidang sosial: memperkuat jejaring dan gerakan advokasi sosial. Salah satu upaya untuk memperkuat daya dukung sosial dalam rangka melawan pemberantasan korupsi adalah dengan jalan memperkuat responsibilitas masyarakat agar memahami peran strategis mereka dalam pemberantasan korupsi. Caranya adalah dengan jalan memperkuat jejaring dan gerakan advokasi secara masif. Pers, mahasiswa, akademisi, hingga civil society harus membangun sinergitas dan soliditas bagaimana menjalan peran advokasi kepada masyarakat secara luas. Agar masyarakat memahami peran mereka dalam pemberantasan korupsi sehingga ekosistem sosial dapat menjadi lahan yang sangat tandus bagi tumbuhnya praktik korupsi.

Kedua, bidang politik: restorasi partai politik dengan kebijakan pendanaan oleh APBN. Partai politik memiliki peran strategis-fundamental dalam tata pemerintahan negara. DPR, DPRD, Presiden, menteri, hingga kepala daerah adalah mereka yang bernaung dalam partai politik. Selama ini kultur dalam partai politik sendiri sangat bersifat materialistik, mahar politik dan politik uang masih menjadi fenomena empirik. Kondisi inilah yang kemudian menjadi causa bagi terjadinya korupsi bagi sang pemenang kontestasi politik baik legislatif maupun eksekutif, karena dia ingin balik modal untuk mengganti uang yang dia keluarkan untuk membeli tiket politik parpol pengusung dan politik uang kepada masyarakat yang memiliki hak pilih. Melihat kondisi tersebut, hal mendesak yang harus dilakukan adalah restorasi partai politik agar partai politik dapat menjadi institusi demokrasi yang akuntabel. Salah satu langkah praksisnya adalah melalui kebijakan pendanaan parpol dengan dana APBN, agar dapat dilakukan audit secara komprehensif oleh BPK, sehingga parpol dapat berubah menjadi institusi demokrasi yang akuntabel dan jauh dari praktik korupsi.

Ketiga, bidang budaya: membangun budaya antikorupsi dengan pendekatan sastra. Membangun budaya antikorupsi harus dimulai dengan ketertarikan masyarakat. Memantik ketertarikan masyarakat secara efektif dapat dilakukan dengan pendekatan sastra yang mengandung nilai seni, budaya, dan keindahan. Salah satu langkah praksisnya adalag dengan melakukan penanaman nilai-nilai antikorupsi dalam aktivitas sastra. Teatater, puisi, cerpen, dongeng dll adalah produk-produk sastra yang dapat digunakan oleh para sastrawan sebagai medium untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi sekaligus memantik ketertarikan masyarakat dalam spirit pemberantasan korupsi. Agar gerakan ini bisa menjalar masif perlu dilakukan konsolidasi secara nasional yang meliputi para sastrawan dan komunitas sastra lokal, misalnya dilakukan gerakan simposium sastra nasional melawan korupsi.

Keempat, bidang ekonomi: meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan optimalisasi dana desa. Kemiskinan bisa menjadi penyebab tergerusnya idealisme untuk melakukan perang melawan korupsi. Salah satu contohnya adalah masih masifnya politik uang yang menyasar masyarakat golongan menengah ke bawah. Oleh sebab itu, agenda mendesak di bidang ekonomi sebagai daya dukung untuk melawan praktik korupsi adalah dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Langkah praksinya adalah melalui optimalisasi dana desa untuk meningktkan kesejahteraan masyarakat desa. Setiap desa di seluruh Indonesia memiliki anggaran dana desa yang nominal setiap tahunnya berkisar antara 2 – 3 miliyar rupiah. Sebuah anggaran strategis yang harus dioptimalkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus memperkuat idealisme masyarakat terhadap pemberantasan korupsi.

Kelima, bidang hukum: memperkuat penegakan hukum dan pencegahan hukum. Lemahnya daya dukung hukum untuk memberantas praktik korupsi disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum dan pencegahan hukum. Lemahnya penegakan hukum adalah terkait rendahnya vonis hukum yang dijatuhkan kepada para narapidana korupsi sehingga tidak menimbulkan efek jera serta lemahnya fungsi lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana korupsi, seringkali narapidana korupsi mendapatkan previlege dalam lembaga pemasyarakatan sehingga membuat fungsi pemasyarakatan lemah. Lemahnya pencegahan hukum dapat dilihat dari belum adanya sanksi tegas kepada penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN kepada KPK. Oleh sebab itu, 3 hal yang harus diperkuat adalah pengenaan sanksi kepada para koruptor yang berat mengingat korupsi merupakan ekstraordinary crime, hal ini menjadi wilayah teknis hakim, kemudian meningkatkan fungsi pemasyarakatan lembaga pemasyarakatan untuk menekan pevilege kepada narapidana korupsi, dan terakhir adanya kebijakan untuk pengenaan sanksi hukum yang tegas tidak sekadar sanksi administrasi kepada penyelenggara negara yang tidak taat melaporkan LHKPN kepada KPK.