Perbedaan Penafsiran Ekstensif dan Analogi dalam Penemuan Hukum

oleh
Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.

Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.

Penemuan hukum bagi seorang hakim merupakan hal penting. Hal ini merujuk pada asas hukum ius curia novit, yang artinya bahwa hakim dianggap tahu akan hukum dan segala kompleksitasnya. Secara normatif, asas ini kemudian melekat pada ketentuan Pasal 10 ayat (10) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni perihal larangan pengadilan menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan dalih hukum (aturan) tidak ada, tidak lengkap, atau kurang jelas.

Secara teoritik, metode penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, metode penafsiran hukum. Merupakan metode penemuan hukum dengan memberikan penafsiran terhadap teks atau kalimat agar ruang lingkup kaidah/norma dapat diterapkan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara hukum konkrit. Metode penafsiran hukum biasanya digunakan dalam hal keadaan hukumnya ada tetapi kurang jelas atau kurang lengkap.

Terdapat beberapa jenis metode penafsiran hukum. Penafsiran gramatikal, penafsiran berdasarkan makna baku suatu kata atau kalimat. Penafsiran historis, penafsiran berdasarkan sejarah hukum dan sejarah undang-undang terkait. Penafsiran, sistematis, penafsiran dengan jalan menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan.
Penafsiran teleologis, penafsiran menurut tujuan/kemanfaatan masyarakat. Penafsiran perbandingan hukum, penafsiran dengan jalan membandingkan kaidah hukum di negara lain. Penafsiran futuristis, penafsiran dengan menggunakan dasar atau pedoman ius constituendum (RUU). Penafsiran ekstensif, penafsiran dengan jalan memperluas arti atau ketentuan di dalam undang-undang.

BACA JUGA :  Dikonfirmasi Soal Namanya Disebut Terima Rp2,5 Miliar dalam Kasus Korupsi BKKBI Tulungagung, Gus Ipul Pilih Bungkam

Kedua, metode konstruksi hukum. Metode penemuan hukum yang tidak lagi berpatokan pada teks dalam Pasal/UU tetapi tetap memperhatikan hukum sebagai sebuah sistem. Metode konstruksi hukum digunakan manakala tidak ada aturan hukum sebagai dasar untuk memeriksa dan mengadili suatu peristiwa hukum sehingga terjadi kekosongan hukum.

Metode konstruksi hukum terdiri atas 3 hal yakni: Analogi, adalah menyamakan suatu peristiwa hukum yang memiliki anasir kemiripan namun secara makna merupakan dua hal yang berbeda. Dalam hukum pidana, pada prinsipnya dilarang penggunaan analogi berdasarkan prinsip asas legalitas.

Kemudian, restriksi hukum (penyempitan makna). Yakni penerapan suatu peraturan hukum yang sifatnya umum ke dalam suatu hubungan hukum yang bersifat khusus. Terakhir, contrario. Menjelaskan suatu peraturan hukum/norma dengan didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit dengan norma yang diatur dalam hukum formal.

Berdasarkan penjelasan di atas sekilas, ada sedikit irisan persamaan antara penafsiran ekstensif dengan analogi. Yakni sama-sama memberikan legitimasi suatu peristiwa hukum dengan dasar pemaknaan yang lebih terhadap ketentuan dalam undang-undang. Sehingga peristiwa hukum tersebut dapat diperiksa dan diadili berdasarkan ketentuan Pasal dalam undang-undang yang bersangkutan.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

Dalam kalangan ahli hukum, terjadi diskursus terkait penafsiran dengan analogi. Ada yang berpendapat keduanya sama, hanya soal gradasi semata. Namun di sisi lain, ada yang tegas membedakan antara penafsiran ekstensif dengan analogi. Penulis sendiri termasuk dalam kelompok kedua. Yang meyakini bahwa penafsiran ekstensif dan analogi merupakan dua hal yang berbeda.

Perbedaannya, bahwa penafsiran ekstensif masih berpegang pada bunyi teks dalam undang-undang, sedangkan analogi sebagai bagian metode penemuan hukum konstruksi sudah tidak terpaku pada bunyi teks undang-undang melainkan pada peristiwa hukum yang secara substansial memiliki unsur esensial yang sama.
Penafsiran ekstensif pada hakikatnya memberikan perluasan makna terhadap bunyi teks dalam undang-undang berdasarkan kondisi dan situasi aktual sehingga aturan tersebut dapat diterapkan untuk memeriksa dan mengadili sebuah peristiwa konkrit. Salah satu contoh penafsiran ekstensif adalah putusan Hoge Raad tahun 1921, dimana ditentukan bahwa pengertian benda dalam Pasal 372 KUHP (delik pencurian) meliput listrik. Penafsiran kalimat “benda” diperluas tidak sekadar pada benda dalam arti fisik tetapi juga benda yang bersifat non-fisik seperti aliran listrik. Maka dari itu, orang-orang yang melakukan pencurian listrik akhirnya dapat dipidana berdasarkan Pasal 372 KUHP.

BACA JUGA :  Dikonfirmasi Soal Namanya Disebut Terima Rp2,5 Miliar dalam Kasus Korupsi BKKBI Tulungagung, Gus Ipul Pilih Bungkam

Di sisi lain, metode analogi pada prinsipnya tidak lagi berpegang (memperluas makna) pada teks atau kalimat dalam undang-undang melainkan mencari dan menyamakan peristiwa atau hubungan hukum lain yang secara substansial memiliki unsur esensial yang sama agar peristiwa atau hubungan hukum tersebut juga dapat turut diadili berdasarkan ketentuan hukum yang ada.

Contoh metode analogi adalah menyamakan jual beli dengan hibah. Keduanya secara substansial memiliki unsur esensial yang sama yakni peralihan hak kepemilikan, tetapi keduanya merupakan wujud hubungan hukum yang berbeda dalam konteks konsekuensi hukum.

Perbedaan mencolok antara penafsiran ekstensif dengan analogi sendiri dapat ditelaah dalam kerangka hukum pidana. Dalam konteks hukum pidana, metode penemuan hukum melalui penafsiran ekstensif dapat dilakukan (sebagaimana contoh di atas), sedangkan metode penemuan hukum melalui konstruksi hukum analogi tidak dapat dilakukan berdasarkan prinsip asas legalitas. Dalam prinsip asas legalitas Pasal 1 ayat (10 KUHP bahwa hanya perbuatan hukum yang sudah ditentukan dalam undang-undang sebagai tindak pidana yang dapat disebut sebagai tindak pidana sehingga dapat diancam dan dijatuhi pidana.

Editor: Romli