Metode Penemuan Hukum

oleh
Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.
Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.

Sudikno Mertokusumo dalam buku Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (2002) mendefinisikan penemuan hukum sebagai pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya yang memiliki tugas dan wewenang melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkrit.

Penemuan hukum khususnya bagi seorang hakim menjadi hal penting berdasarkan asas hukum ius curia novit yang artinya bahwa hakim dianggap tahu akan hukum dan segala kompleksitasnya. Secara normatif, asas ini kemudian menjiwai Pasal 10 ayat (10) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait larangan pengadilan menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan dalih hukum (aturan) tidak ada, tidak lengkap, atau kurang jelas.

Oleh sebab itu, menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan dalih hukumnya tidak ada, tidak lengkap, atau kurang jelas.

BACA JUGA :  Kejati Lakukan Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti Kasus Korupsi Pencairan Deposito dan Dana Hibah KONI Sumsel

Ketika aturan hukum tidak ada, tidak lengkap, atau kurang jelas, maka hakim wajib melakukan penemuan hukum dengan menggali, mengikuti, dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Akan tetapi, asas larangan bagi pengadilan dan hakim untuk menolak suatu perkara yang masuk untuk diperiksa dan diadili dengan alasan tidak ada hukum, atau hukumnya kurang lengkap atau tidak jelas harus diletakkan dalam kerangka prinsip yuridiksi pengadilan baik kompetensi absolut maupun kompetensi relatif.

Secara teoritik, metode penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, metode penafsiran hukum. Merupakan metode penemuan hukum dengan memberikan penafsiran terhadap teks atau kalimat agar ruang lingkup kaidah/norma dapat diterapkan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara hukum konkrit. Metode penafsiran hukum biasanya digunakan dalam hal keadaan hukumnya ada tetapi kurang jelas atau kurang lengkap.

BACA JUGA :  Kejati Lakukan Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti Kasus Korupsi Pencairan Deposito dan Dana Hibah KONI Sumsel

Terdapat beberapa jenis metode penafsiran hukum. Penafsiran gramatikal, penafsiran berdasarkan makna baku suatu kata atau kalimat. Penafsiran historis, penafsiran berdasarkan sejarah hukum dan sejarah undang-undang terkait. Penafsiran, sistematis, penafsiran dengan jalan menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Penafsiran teleologis, penafsiran menurut tujuan/kemanfaatan masyarakat. Penafsiran perbandingan hukum, penafsiran dengan jalan membandingkan kaidah hukum di negara lain. Penafsiran futuristis, penafsiran dengan menggunakan dasar atau pedoman ius constituendum (RUU).

Kedua, metode konstruksi hukum. Metode penemuan hukum yang tidak lagi berpatokan pada teks dalam Pasal/UU tetapi tetap memperhatikan hukum sebagai sebuah sistem. Metode konstruksi hukum digunakan manakala tidak ada aturan hukum sebagai dasar untuk memeriksa dan mengadili suatu peristiwa hukum sehingga terjadi kekosongan hukum.

BACA JUGA :  Kejati Lakukan Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti Kasus Korupsi Pencairan Deposito dan Dana Hibah KONI Sumsel

Metode konstruksi hukum terdiri atas 3 hal yakni: Analogi, adalah menyamakan suatu peristiwa hukum yang memiliki anasir kemiripan namun secara makna merupakan dua hal yang berbeda. Dalam hukum pidana, pada prinsipnya dilarang penggunaan analogi berdasarkan asas legalitas.

Kemudian, restriksi hukum (penyempitan makna). Yakni penerapan suatu peraturan hukum yang sifatnya umum ke dalam suatu hubungan hukum yang bersifat khusus. Terakhir, contrario. Menjelaskan suatu peraturan hukum/norma dengan didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit dengan norma yang diatur dalam hukum formal.

Editor : Romli