Konstruksi Barang Bukti dalam Pembuktian Hukum Pidana

oleh
Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.

Pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia menganut teori pembuktian negatif, yakni mengharuskan adanya alat bukti sekaligus keyakinan hakim sebagai dasar validitas putusan. Hal ini bisa dilihat melalui ketentuan Pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Selanjutnya dalam Pasal 184 ayat (1) ditentukan jenis-jenis alat bukti, meliputi: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Berdasarkan konstruksi tersebut, dapat dipahami bahwa alat bukti memegang peranan vital dalam pembuktian hukum pidana. Alat bukti merupakan dasar validitas dan formalitas (selain keyakinan hakim) dari sebuah putusan hakim baik untuk membebaskan, melepaskan maupun memidanakan seorang terdakwa.

Selain alat bukti, dalam praktik pembuktian perkara pidana juga dikenal adanya barang bukti. Dalam KUHAP, memang tidak dijelaskan secara eksplisit apa itu pengertian dari alat bukti maupun barang bukti. Pengertian barang bukti menurut KUHAP dapat dihubungkan dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) KUHAP mengenai apa saja yang dapat dilakukan penyitaan.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

Menurut Pasal 39 KUHAP ayat (1) disebutkan apa-apa saja yang dapat dilakukan penyitaan. Pertama, benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana. Kedua, benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya. Ketiga, benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana. Keempat, benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana. Kelima, benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Menurut Ratna Nurul Arifah dalam buku Barang Bukti Dalam Proses Pidana (1989), ketentuan yang tertuang dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP merupakan penjelasan mengenai apa yang disebut sebagai barang bukti.

BACA JUGA :  Dikonfirmasi Soal Namanya Disebut Terima Rp2,5 Miliar dalam Kasus Korupsi BKKBI Tulungagung, Gus Ipul Pilih Bungkam

Andi Hamzah dalam buku Hukum Acara Pidana Indonesia (2001) mengidentifikasi ciri-ciri barang bukti dalam empat hal. Pertama, obyek materil. Kedua, berbicara untuk dirinya sendiri. Ketiga, sarana pembuktian yang paling bernilai. Keempat, harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa.

Secara formal, pengertian barang bukti dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 20 Peraturan Kapolri Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. “ Barang bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan”.

Ketentuan tersebut sekaligus menegaskan makna implisit dari ketentuan Pasal 39 ayat (1) KUHAP mengenai definisi barang bukti.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

Berdasarkan pengertian tersebut. Dalam konstruksi pembuktian hukum pidana, barang bukti memiliki 4 nilai penting.

Pertama, menguatkan kedudukan alat bukti. Dengan adanya barang bukti, maka akan menguatkan validitas dari sebuah sebuah alat bukti. Misalnya, alat bukti keterangan saksi akan memiliki nilai validitas jika dilengkapi dengan pemenuhan barang bukti.

Kedua, mempermudah mencari kebenaran materil. Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran materil. Di sinilah, peran barang bukti memiliki nilai penting dalam konteks pembuktian hukum pidana, karena barang bukti sebagaimana diungkapkan Andi Hamzah merupakan sarana pembuktian yang paling bernilai, karena mengandung nilai empiris dan logika kasuistis.

Ketiga, menguatkan keyakinan hakim. Adanya barang bukti disamping alat bukti akan memperkuat keyakinan hakim atas kebenaran materil dari sebuah penyelesaian perkara pidana.

Keempat, mempermudah pengungkapan dan penyelesaian perkara pidana dalam bingkai sistem peradilan pidana.