Hukum dan Kesejahteraan Sosial

oleh
Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.

Secara teoritik dan telaah kritis terhadap eksistensi, fungsi, maupun tujuan hukum, maka hukum memiliki inherensi dan berafiliasi erat dengan kepentingan negara dan rakyat baik dalam kapasitas sebagai alat kontrol sosial maupun dalam kapasitas sebagai alat perekayasa sosial. Baik dalam kerangka untuk memberikan perlindungan guna menciptakan stabilitas sosial maupun dalam kerangka untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial kepada rakyat.

Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, terkandung relasi respirokal-integratif antara pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea IV, Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 28, Pasal 33, dan Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945, yang dapat diinterpretasikan bahwa negara Indonesia dikonstruksikan sebagai negara demokrasi (kedaulatan rakyat) dan negara nomokrasi (kedaulatan hukum) yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.

Dalam sudut nomokrasi, maka hukum dalam bingkai relasi ketatanegaraan Indonesia berfungsi untuk menjaga tegaknya marwah demokrasi sekaligus juga mendorong terwujudnya kesejahteraan sosial. Secara teknis-operasional, perihal kesejahteraan sosial kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, kesejahteraan sosial didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan materil, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Dari definisi tersebut, mengandung arti bahwa secara formal, makna kesejahteraan sosial tidak sekadar mengandung makna materil-ekonomi melainkan meliputi dimensi spiritual dan dimensi sosial secara lebih luas, seperti: pendidikan, kesehatan, kesetaraan, akses keadilan, lingkungan hidup, dan hal fundamental lainnya.

Dalam konteks kesejahteraan sosial, masih banyak problematika laten yang menjadi ‘kolesterol’ bagi bangsa ini. Pertama, aspek materil. Problematika aspek materil yang menjadi masalah laten bangsa ini adalah perihal kesenjangan ekonomi dan kemiskinan.

Berdasarkan data BPS pada September 2020, ratio gini Indonesia berada di angka 0,385. Data ini menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia masih menjadi problematika serius.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

Selain kesenjangan ekonomi, kemiskinan juga masih menjadi problematika aktual bangsa Indonesia. Menurut data BPS pada September 2020, presentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 10,19 % atau 27,55 juta orang. Jumlah yang cukup signifikan.

Terlebih, saat ini pandemi Covid-19 masih melanda dan resesi ekonomi global juga turut mengancam. Dua kondisi tersebut sarat potensial dapat meningkatkan presentase kemiskinan.

Kedua, aspek spiritual. Problematika dalam aspek spiritual adalah tentang jaminan dan perlindungan hak kebebasan begarama, beribadah serta meyakini dan melaksanakan agama serta keyakinan yang diyakini. Menurut data Komnas HAM, sepanjang tahun 2008-2018 terdapat 2.453 kasus pelanggaran HAM atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, dimana 1.033 kasus diantaranya dilakukan oleh negara.

Ketiga, aspek sosial secara luas. Problematika ini menyangkut permasalahan sosial secara komprehensif sehingga bersinggungan dengan banyak aspek.

Seperti: problematika pelayanan dan akses kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, transportasi, korupsi, lingkungan hidup, dan hal fundamental lainnya.
Ketiga dimensi kesejahteraan sosial di atas (materil, spiritual, dan sosial secara luas) idealnya harus mampu dikooptasi oleh hukum.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

Dalam artian, hukum harus mengejawantah menjadi sarana yang berfungsi secara empirik untuk menciptakan idealitas dan kondusifitas bagi bekerjanya ketiga aspek kesejahteraan sosial tersebut.
Bekerjanya hukum dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial sendiri terbagi atas dua pendekatan. Pertama, pendekatan teknis-administratif.

Dalam konteks pendekatan teknis-administratif, hukum berfungsi sebagai pondasi tata kelola (sistem) bagi bekerjanya program-program dan kebijakan negara. Kedua, pendekatan represif-restoratif. Dalam konteks pendekatan represif-restoratif, hukum berfungsi sebagai sarana kontrol maupun sarana pemulihan terhadap praktik-praktik distorsi (pelanggaran hukum) dalam berjalannya program-program dan kebijakan negara.

Oleh karena itu, agar hukum dapat berfungsi optimal untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, maka ada dua hal yang harus dilakukan, yakni membangun substansi hukum yang berorientasi pada keadilan dan kemajuan serta bagaimana menjalankan dan menegakkan hukum secara konsekuen dalam segala lini.