Polemik Hukum: Bisakah Kasus Penembakan Anggota FPI Dibawa Ke Mahkamah Internasional

oleh
Prof Hikmahanto Juwana

Pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, menjelaskan, Indonesia sejak awal bukanlah salah satu anggota dari Statuta Roma. Bahkan, hingga kini Indonesia juga tidak meratifikasi statuta yang akhirnya menghasilkan peradilan independen International Criminal Court (ICC).

Dengan alasan tersebut, sambung dia, penembakan kepada enam laskar Front Pembela Islam (FPI) yang dilakukan Polda Metro Jaya, menjadi faktor tidak bisa membuat kasus hukum itu diseret ke badan peradilan independen internasional. “Itu alasan ke satu, jadi tidak bisa,” ujar rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Sabtu (19/12).

Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional yang kerap disebut Statuta Roma, adalah traktat internasional yang mendirikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Adapun Indonesia tidak termasuk negara yang meneken kesepakatan tersebut.

Menurut Hikmahanto, alasan kedua kasus tersebut tidak bisa diseret ke ICC, karena tidak mencakup adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. “Kedua, kalau ke Den Haag (Belanda) itu, (hanya kasus) yang disebut sebagai pelanggaran HAM berat,” kata Hikmahanto.

Dia melanjutkan, ada empat jenis pelanggaran HAM berat yang bisa diurus di ICC. Di antaranya adalah bentuk dari kejahatan internasional, meliputi genosida, kejahatan melawan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

BACA JUGA :  5 Smelter Hasil Sitaan Dititipkan Kejaksaan RI ke Kementerian BUMN Dalam Perkara Kasus Korupsi Timah

“Jadi dalam konteks yang terjadi kemarin (penembakan laskar FPI) tidak masuk dalam kategori tersebut,” ucap Hikmahanto.

Karena itu, Hikmahanto menegaskan, kemungkinan membawa kasus pembunuhan laskar FPI itu ke Den Haag sangat tidak mungkin. Terlebih, Indonesia bukan peserta dari Statuta Roma.

Sebelumnya, Sekretaris Umum FPI, Munarman memastikan jika salah satu rekaman yang menyuarakan permintaan tolong, adalah suara dari salah satu laskar FPI. “Kita pastikan suara itu betul dari pengawal yang malam itu ada di lokasi kejadian,” jelas Munarmawan.

Sebaliknya, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat, hilangnya nyawa enam (6) laskar pengawal pentolan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang didor eksekutor merupakan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, bisa diseret ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda.

“Tindakan ini bisa diadili di Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai pelanggaran HAM berat bahkan bisa diadili di ICC (International Criminal Court) di Den Haag,” katanya dalam pesan singkat.  Rabu, 16 Desember 2020.

BACA JUGA :  Giliran Aset RBT Disita Kejagung

Fickar menilai, eksekutor diduga anggota polisi yang ditugaskan mengamankan enam anggota FPI itu seharusnya tidak mempergunakan senjata api secara sembarangan, apalagi untuk menembak mati masyarakat sipil yang disebut-sebut tidak bersenjata.

“Dalam konteks hukum pidana internasional dalam situasi perang yang berdasarkan hukum perang, militer saja tidak diperbolehkan menembak tahanan perang yang tidak bersenjata, apalagi menembaki sipil, tindakan ini dikualifisir sebagai kejahatan perang,” ujarnya.

“Jadi, orang-orang yang bersenjata sebenarnya tidak dibenarkan menggunakan senjatanya dalam keadaan aman dan normal,” ucapnya menambahkan.

Dalam kasus itu, Fickar menyayangkan lahir peristiwa penembakan yang menewaskan enam anggota FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada 7 Desember 2020 lalu. Menurutnya, terdapat kesalahan prosedur dilakukan kepolisian saat bertugas ‘menguntit’ rombongan Habib Rizieq Shihab.

“Polisi itu konteksnya keamanan. Jadi penggunaan senjatanya itu tidak bisa langsung menembak mati, tapi harus bertahap, yaitu mengamankan dengan melumpuhkan, menembak peringatan dengan sasaran ke atas, kemudian menembak kaki untuk melemahkan,” tutur Fickar menjelaskan.

BACA JUGA :  Terseret Mega Korupsi Timah, 4 Smelter Ini Disita Kejagung

Oleh sebab itu, Fickar menyarankan pemerintah perlu membentuk tim pencari fakta untuk mencari kebenaran agar kasus tewasnya 6 anggota FPI bisa terang benderang.

“Soal penembakan 6 orang itu mustinya Presiden Jokowi juga peka, karena yang ditembak itu warga sipil. Jadi seharusnya sebagi negarawan, presiden berinisiatif juga membentuk tim pencari fakta untuk mencari kebenaran,” ujar dia.

Sementara, Anggota Komisi I DPR Fadli Zon menilai kasus penembakan terhadap enam laskar FPI janggal, lantaran narasi polisi berubah-ubah.

“Dari narasi yang berubah-ubah, jelas sekali kejanggalan pembunuhan 6 anggota FPI itu,” tulis Fadli lewat @fadlizon, Rabu, 15 Desember 2020.

Maka itu, Fadli meminta polisi bersikap transparan, termasuk membuka pelaku penembakan yang membuat nyawa enam laskar melayang.

“Sekarang sebaiknya dibuka siapa pelaku/eksekutor penembakan. Jangan disembunyikan!” kata politikus Gerindra itu.

Sebelumnya, Tim Pemantauan dan Penyelidikan yang dibentuk Komnas HAM sudah meminta keterangan dari Kapolda Metro Jaya, Jasa Marga, FPI, saksi, keluarga korban, dan masyarakat. Selain itu, tim juga melakukan pemantauan lapangan secara langsung serta memperdalam penyelidikan di tempat kejadian perkara (TKP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.