WALHI Prihatin, Aktivitas TI Rajuk di Pantai Sampur Kian Mengkuatirkan

oleh

PANGKALPINANG – Aktivitas Tambang Inkonvensional (TI) apung atau rajuk di perairan pantai Sampur Kecamatan Pangkalan Baru Kabupaten Bangka Tengah (Bateng) semakin mengawatirkan. Puluhan ponton beroperasi sekitar 100 meter dari bibir pantai mengakibatkan kondisi air berubah keruh dan terjadi pendangkalan.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Babel, Jessix Amundian mengatakan, semenjak berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, maka soal pengawasan dan kewenangan pemerintah daerah terkait Minerba diambil alih oleh Pemerintah Pusat.

Jessix mengingatkan, dalam Pasal 169C UU Nomor 3 Tahun 2020 huruf (f) menyebutkan, dalam hal belum terdapat pejabat pengawas pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 141 ayat (4), pengawasan atas kegiatan Usaha Pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IUPK, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, IPR, atau SIPB dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.

Berikutnya Huruf (g) menyebutkan seluruh kewenangan Pemerintah Daerah dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) dan Undang-Undang lain yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Daerah di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara wajib dimaknai sebagai kewenangan Pemerintah Pusat kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

BACA JUGA :  Kejagung sebut Smelter Sitaan akan Dikelola BUMN

“Dalam hal delegasi kewenangan, siapa pejabat yang ditunjuk oleh Menteri perihal pengawasan tersebut? Apakah Pemerintah Daerah atau pejabat Kementerian terkait? menjadi penting kemudian untuk memastikan perihal tersebut mengingat keberlanjutan fungsi ekologis di Babel yang terus terganggu,”ujar Jessix, Jumat (27/11/2020).

Sebagai contoh di Babel, terkait aktivitas tambang timah dilaut, bagaimana dengan proses penyusunan awal Amdal, Izin Lingkungan dan juga terkait pencemaran dan pengelolaan limbah yang dihasilkan dari aktivitas tambang laut yang selama ini telah memberikan dampak nyata terganggunya ekosistem, kedaulatan pangan pesisir, konflik sosial dan kriminalisasi nelayan yang menyelamatkan ruang hidup dan sumber penghidupannya.

Begitupun dengan kewajiban reklamasi dan pasca tambang sebagaimana diatur PP Nomor 78 Tahun 2010. Siapa yang mengawasi dan bagaimana pertanggungjawaban korporasi? harus ada kepastian hukum.

BACA JUGA :  Begini Upaya Bupati Riza dalam Penanganan Banjir di Toboali

Dari konflik sosial yang selama ini terus terjadi diwilayah pesisir, dari proses awal penyusunan Amdal, Izin Lingkungan dan hingga terbitnya IUP tambang patut diduga tanpa melalui proses FPIC (Free, Prior, Informed and Concent) yaitu persetujuan masyarakat tanpa adanya paksaan dimana masyarakat berhak menentukan apakah suatu proyek pembangunan dapat dilaksanakan atau ditolak atau masyarakat menentukan syarat-syarat untuk pelaksanaan proyek tersebut melalui pengambilan keputusan melalui musyawarah.

Dari awal pembahasan terkait revisi atas UU Nomor 4 Tahun 2009 menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020, WALHI dan organisasi masyarakat sipil lainnya menolak secara tegas perubahan-perubahan tersebut karena akan berdampak pada keselamatan rakyat dan lingkungan, dan hanya akan memperkuat ruang oligarki korporasi tambang.

“Dan kita ketahui bersama, dalam perkembangannya UU Nomor 3 Tahun 2020 ini kan tersubordinasi lagi oleh UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang ditolak secara luas oleh masyarakat sampai hari ini,” ungkap Jessix.

BACA JUGA :  Kasus Kecurangan Klaim BPJS Rumah Sakit Bakti Timah Sungailiat Kabarnya Dihentikan, Ini Kata Kastel Kejari Bangka

Pada prinsipnya, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan ruang bagi Pemerintah Daerah dapat mengeluarkan Diskresi. Terkait Diskresi ini disebutkan dalam pasal 1 angka (9) menyebutkan.

“Keputusan dan atau tindakan yang ditetapkan dan atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan kongrit yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas dan/atau adanya stagnasi pemerintahan,” tambahnya.

Jessix menegaskan, demi adanya kepastian hukum, produk diskresi ini dapat berupa peraturan dan atau penindakan langsung atas dasar penyelamatan keberlanjutan fungsi ekologis, kedaulatan pangan yang berkelanjutan, mitigasi bencana dan keselamatan rakyat dengan melibatkan masyarakat lokal setempat sebagai satuan tugas perlindungan dan penyelamatan lingkungan hidup.

“Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat (4) terkait Perlindungan, Pemajuan, Penegakan dan Pemenuhan Hak Azazi Manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah,”tutupnya. (tim)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.