Siapa Penikmat Dana Kompensasi Pengarungan dan Pengangkutan?

oleh

Kerugian besar yang dialami oleh PT. Timah (persero) Tbk yang diduga sebagai ekses dari kerjasama dengan pihak ketiga layak menjadi pertanyaan besar. Setelah Direktur Keuangan PT. Timah Tbk, Wibisono menyampaikan di hadapan wartawan pada, Rabu (15/7/20) malam lalu pada acara diskusi serta silaturahmi dengan sejumlah wartawan, Wibisono mengatakan bahwa PT. Timah sendiri tidak menyebut pengeluaran besar tersebut sebagai pembelian ore (bijih timah). Akan tetapi itu merupakan kompensasi yang diberikan, bahkan hingga pada level pelaku tambang terbawah yakni pelimbang.

Ada sejumlah dana kompensasi yang besar harus digelontorkan oleh perusahaan pemasok nomor 1 timah dunia ini. Meskipun hal tersebut memaksa perusahaan pelat merah tersebut menjadi “juragan bogor”. Tidak main-main, jika perusahaan BUMN ini harus ambil resiko merugi hanya karena kerjasama dalam kompensasi kegiatan hulu tambang.

“Orang melimbang dikumpulkan ke kolektor. Dari kolektor dijual dengan yang namanya ke CV. Timah itu adalah dari IUP PT. Timah, maka bijih atau ore itu tidak boleh namanya dibeli. Oleh karena itu orang yang menambang diberikan yang namanya kompensasi. Makanya adalah namanya istilah kompensasi. Adalagi untuk tambang kecil terintegrasi maksudnya ada masyarakat yang melimbang, itu ada yang namanya biaya pengarungan. Jika ini dilihat dari sudut kaca mata hukum, tidak pantas seorang mengarungi dikasih harga misalnya 150 ribu, masa sih cuma mengarungi saja. Atau biaya pengangkutan, karena pendefinisian yang kita ambil adalah pendefinisian yang ada dalam peraturan ESDM. Cuma secara substansi akan berbeda,” jelas Wibisono yang dalam pertemuan saat itu didampingi Purwoko selaku Direktur Niaga.

Wibisono yang dalam pertemuan saat itu didampingi Purwoko selaku Direktur Niaga.

 

Di sisi lain, justru banyak keluhan yang muncul di masyarakat penambang bahwa harga beli rendah dan sudah ditentukan, tak jarang pula dengan dalih harga timah sedang jatuh dan sebagainya. Seharusnya kompensasi sendiri bersifat konstan, sehingga fluktuasi harga timah dunia seharusnya tidak berdampak pada nilai kompensasi yang diterima hingga pada level pelimbang timah. Lantas fakta bahwa terjadi proses transaksi jual beli timah di penambang rakyat, ulah pihak yang mana? karena seharusnya itu masyarakat tidak dipusingkan dengan transaksi jual beli yang fluktuatif. Sekali lagi karena mereka merupakan penerima kompensasi. Bukan bagian dari jual beli ore.

BACA JUGA :  Terimakasih UHC-nya Pak Bupati Babar Hanya Bermodalkan KTP dan KK, Sutrisno Pekerja TI Lega, Istrinya Terselamatkan Dari Serangan Jantung

Wibisono pun mengaku bahwa ia pernah mendapat pertanyaan “Mas gak wajar itu, namanya biaya pengangkutan kok mahal banget. Yang namanya biaya pengangkutan itu berat, volume kali kan dengan jarak, yang ini kan kemahalan” Menurut Wibisono lagi bahwa hal itu lah yang harus diluruskan bahwa. Bahwa pengangkutan yang dimaksud dalam kemitraan ini adalah kegiatan pengangkutan yang harus ditimpali dengan kompensasi.

“Ini lah yang kadang-kadang perlu kita garisbawahi. Pengertian pengangkutan adalah, yang melakukan penambangan di IUP PT. Timah yang mana tidak bisa kita beli, tapi kita ganti namanya, agar tidak menyalahi aturan ketentuan perundang-undangan. Begitu juga pengarungan juga sama. Kira kira begitu. Mungkin boleh kita tanya jawab, karena akan jadi masukan bagi kami untuk menyampaikan ke ESDM. Karena Kami saat ini juga akan mengganti istilah yang namanya pengangkutan, pengarungan dan sebagainya akan kita sampaikan. Ini akan menjadi masalah-masalah hukum dikemudian hari, karena orang melihat lho kok mahal banget hanya sekedar ngangkut dan ngarungi. Tapi ini juga sudah kita sounding juga ke kementerian terkait agar ke depan masalah yang seperti ini tidak menjadi praduga bahwa PT. Timah melakukan kesalahan,” jelas Wibisono.

BACA JUGA :  Gelar MTQ KORPRI Kedua, Ini Harapan Pemkot Pangkalpinang

Wibisono mendefinisikan bahwa kompensasi adalah cost yang disepakati pada bagian awal dalam rangka kemitraan membantu kegiatan produksi bijih timah berupa penambangan, pengarungan dan hingga pengangkutan.

“Saya waktu pertama gabung selalu mengatakan kalimat pembelian, apa sih bedanya. Begitu kita baca dan baca memang ada kalimat yang namanya demikian itu. Apakah kompensasi itu adalah wise (kebijakan)? tidak. Karena kalau kompensasi artinya bapak bekerja sama saya, membantu saya, bapak akan diupah, bukan. Tetapi dia mengeluarkan daya upayanya mulai dari biaya orang, biaya solar dan sebagainya serta biaya keselamatan kerjanya. Karena dalam Surat Perintah Kerja (SPK) kita, bahwa K3LH itu harus dijamin. Harus itu ditegakkan. Mangkanya cost itu disepakati diawal misalnya 120, 125, itu dari awal,” jelas Wibisono saat menjawab pertanyaan wartawan.

Jika mengacu dari RKAB sebuah perusahaan tambang apalagi sekelas PT. Timah, artinya besaran cost kompensasi tersebut sudah tercakup dan dalam perhitungan yang tentunya tidak dalam proyeksi merugi. Karena akan janggal jika ternyata RKAB justru dirancang untuk menderita kerugian. Apalagi jika mengukur tingkat kerugian yang dialami oleh PT. Timah, tentunya BUMN sekaliber PT. Timah tidak akan ambil resiko. Sementara itu RKAB pun bukan sesuatu harga mati. Artinya bisa direvisi kembali jika dalam perjalanannya operasi perusahaan dianggap perlu merevisi kembali konten dalam RKAB tersebut.

Faktanya PT. Timah sendiri bahkan sempat mengambil keputusan revisi RKAB, namun bukan pada evaluasi cost, justru PT. Timah sempat merevisi RKAB untuk menambah volume produksi bijih untuk menggenjot target ekspor. Semestinya dengan kapabilitas SDM yang ada, PT. Timah dapat memprediksi kemungkinan resiko kerugian yang besar, sehingga dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk menghindari resiko tersebut. Bukan tidak mungkin merevisi kembali kerjasama dengan pihak ketiga termasik menghitung ulang cost kompesasi. Fakta bahwa PT. Timah lebih dominan dalam perjanjian kemitraan setidaknya punya kuasa untuk merevisi kontrak kerjasama kemitraan sebagai langkah efisiensi.

BACA JUGA :  Hadiri Rapat Koordinasi, PJ Gubernur Safrizal : Smelter Hasil Sitaan Kejagung Tetap Dapat Dikelola Sesuai Aturan

PT Timah akan terkesan ambigu bila tak mampu merevisi kontrak kerjasama dengan mitranya. Fakta bahwa pada tahun 2019 lalu PT. Timah mengeluarkan surat teguran kepada mitra peleburannya hanya karena dugaan atas sepucuk surat kepada Presiden RI, yang di dalamnya tercantum nama para mitra kerjasama peleburan. Bahkan dalam surat teguran yang sempat menjadi barang bukti dalam perkara pencemaran nama baik tersebut, PT. Timah terlihat superior dengan warning akan mengevaluasi kerjasama.

Dari sini sebenarnya PT. Timah berani mengambil langkah penyelamatan resiko kerugian, jika itu atas dasar kesepakatan nilai kompensasi. Sementara dalam pertemuan dengan para wartawan di Tins Gallery pada Selasa malam tersebut, Wibisono mengatakan bahwa ada kekhawatiran pada resiko terjerat perkara perdata jika pihaknya sembarangan merilis nama-nama mitra yang bekerja sama dalam pengarungan dan pengangkutan tersebut. Ada gambaran seolah, PT. Timah kehilangan superiornya terhadap mitra jika hanya untuk merilis nama-nama perusahaan (CV) mitra tersebut harus khawatir pada resiko diseret pada perkara perdata. Akhirnya muncul pertanyaan siapa gerangan perusahaan perusahaan tersebut, dan siapa sebenarnya penikmat dana kompensasi yang impact nya hingga menyeret PT. Timah pada kerugian yang terbilang besar.

Karena, jika penikmatnya adalah rakyat penambang, kenapa ada proses transaksi jual beli dari rakyat ke pengumpul atau kolektor dengan harga yang fluktuatif. Siapa sesungguhnya perusahaan mitra berstatus pihak ketiga tersebut? (red)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.