Video Analisa Forumkeadilan: Ketika Media Massa Menjadi Penjahat

oleh
Para pemilik media nasional

Dalam bukunya Theory of Communicative Action (1984), sosiolog Jerman, Jurgen Habermas, menulis bahwa melalui komunikasi dan interaksi, orang dapat menguasai masyarakat, membentuk gerakan sosial, dan meraih kekuasaan.

Tapi, Habermas bukan orang pertama yang melihat kegiatan komunikasi sebagai tiang utama kekuasaan. Tahun 1950-an, sosiolog Amerika, Charles W. Mills melakukan riset tentang struktur kekuasaan di Amerika. Hasil riset tersebut kemudian dituangkan dalam tulisan The Power Elite (1956).

Dari penelitian itu ditemukan hubungan dominatif, yang meletakkan kelompok elit – baik elit politik maupun para konglomerat – sebagai pengontrol rakyat. Hubungan dominatif itu muncul karena elit berusaha memperoleh dukungan politis rakyat demi kepentingan mereka secara ekonomi dan politik. Mills menemukan bahwa para elit  cenderung ingin kaya dan berkuasa, baik diperoleh melalui investasi atau duduk dalam posisi eksekutif.

Mereka tahu benar bahwa media massa memiliki posisi dan peran strategis dalam rangka menggapai kekuasaan, kekayaan, dan pengaruh. Kemudian mereka membangun perusahaan pers dan lembaga-lembaga komunikasi untuk mempengaruhi opini publik. Bentuk komunikasi yang disajikan bersifat satu arah, bahkan indoktrinatif. Masyarakat diperlakukan sebagai penadah informasi elit kekuasan. Rakyat, menurut Mills, tidak cukup mengetahui realitas atau kebenaran sehingga begitu mudah menjadi pendukung dari isu atau informasi yang disebarkan elit. Mills menyebut mereka sebagai masyarakat massa (mass society), yang dicocok hidungnya karena tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran yang sejati tentang isi dari informasi atau isu-isu para elit.

BACA JUGA :  5 Smelter Hasil Sitaan Dititipkan Kejaksaan RI ke Kementerian BUMN Dalam Perkara Kasus Korupsi Timah

Bahaya dominasi kaum elit terhadap media dan publik seperti itu sudah lama dicium oleh filsuf wanita, Hannah Arendt (1906—1975). Arendt kemudian memperjuangkan apa  yang disebut “wilayah publik yang bebas” (the free public  sphere). Wilayah ini bisa diartikan sebagai ruang di mana masyarakat   sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap segala kegiatan  publik. Warganegara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam  menyampaikan pendapat, berserikat dan berkumpul, serta menyiarkan  segala bentuk pemikiran dengan cara-cara yang etis, yang berkaitan  dengan kepentingan umum. Ruang publik menjadi prasyarat bagi terlaksananya masyarakat politik  yang independen, demokratis, dan mampu mengangkat harkat kemanusiaan.

Jurgen Habermas seiring dengan usaha Arendt. Habermas memperkenalkan konsep mengenai public sphere lewat tulisan The Public Sphere  (1962). Dalam tulisan tersebut, Habermas mengulas tentang wilayah sosial yang terbuka, bebas dari sensor dan dominasi. Orang-orang yang terlibat di dalam percakapan public sphere adalah orang-orang privat, yang memiliki kebebasan dalam menyatakan pendapat.

BACA JUGA :  5 Smelter Hasil Sitaan Dititipkan Kejaksaan RI ke Kementerian BUMN Dalam Perkara Kasus Korupsi Timah

Ruang publik itu bagaikan warung kopi (coffe house). Siapa saja boleh ikut berbincang, berdiskusi, berdialog untuk saling memahami, menemukan konsensus, dan menggariskan tujuan bersama dalam bermasyarakat. Dalam diskusi tersebut mereka melepaskan diri dari berbagi atribut sosial dan budaya, serta kepentingan ekonomi tertentu. Tidak ada perbedaan kelas maupun status sosial. Public sphere bersifat independen dan terbuka untuk semua manusia. Para peserta diskusi senantiasa mengaitkan diri dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Dalam pandangan Habermas, media massa, sekolah, universitas, gedung-gedung pertemuan umum, dan parlemen. Dari semua ruang publik yang ada, media massa menempati posisi paling terbuka, paling massif karena mampu menjangkau publik secara luas, sekaligus paling rawan untuk dijadikan alat oleh politisi maupun konglomerat.

Kecenderungan terakhir itulah yang sekarang terjadi di Indonesia. Begitu banyak kepemilikan media massa didominasi oleh konglomerat yang biasanya berkongsi atau sekurangnya dibeking oleh elit politik. Lebih jauh lagi, telah terjadi pula apa yang oleh Habermas disebut sebagai “internasionalisasi media” melalui pembelian saham dan suntikan modal oleh juragan media dunia. Tentu saja mereka membawa agenda sendiri, baik dari segi komersial, politik maupun budaya.

BACA JUGA :  5 Smelter Hasil Sitaan Dititipkan Kejaksaan RI ke Kementerian BUMN Dalam Perkara Kasus Korupsi Timah

Dari sudut pandang kriminologi, meminjam istilah Greek Barack, media massa Indonesia juga cenderung melakukan mistifikasi atau pengaburan makna untuk kepentingan kelompok atau pihak tertentu.

Barangkali itulah sebabnya jiwa dan wajah Indonesia semakin pudar dalam tayangan televisi mapun tulisan media cetak. Hari demi hari, publik Indonesia semakin sulit melihat jati diri mereka sendiri di media massa. Padahal, menurut Habermas, media massa selaku ruang publik merupakan wujud pelayanan publik (public service) bagi masyarakat di mana media tersebut berada. Sebagai pelayan publik, media massa merupakan bagian integral dari jiwa dan cita-cita rakyat (bangsa) di sekelilingnya. Informasi dan opini yang disebarkan, menurut Habermas, semestinya sesuai dengan kepentingan ruh dan kepentingan bangsa tersebut.

Dengan demikian, untuk mebangun media massa sebagai ruang publik independen, media massa sebaiknya dikendalikan dan didominasi oleh wartawan yang terbebas dari politik praktis dan dari jaringan konglomerat yang memiliki agenda terselubung. Konglomerat dan politisi boleh saja ikut memiliki saham media massa, namun mereka harus tunduk pada orientasi wartawan yang ingin menciptakan media massa sebagai ruang publik.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.