Video Analisa Forum Keadilan: Opium To Java Narkotika Ke Indonesia

oleh
Pennngguna opium atau candu di Jawa masa lalu

 

Priyono B Sumbogo

Orang Jawa sudah menggunakan opium jauh sebelum kedatangan Belanda. Begitu menurut James R Rush, penulis buku Opium to Java (1990). Maka setelah Belanda mendarat di Pulau Jawa pada awal abad ke-17, mereka bersaing dengan pedagang Inggris untuk merebut pasar opium di Jawa.

Pada 1677, Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) memenangkan persaingan ini. Kompeni berhasil memaksa Raja Mataram, Amangkurat II, menandatangani perjanjian yang menentukan. Isi perjanjian itu adalah: Raja Mataram memberikan hak monopoli kepada Kompeni untuk memperdagangkan opium di wilayah kerajaannya.

Setahun kemudian, Kerajaan Cirebon juga menyepakati perjanjian serupa. Inilah tonggak awal monopoli opium Belanda di Pulau Jawa. Hanya dalam tempo dua tahun, lalu lintas perdaganfan opium meningkat dua kali lipat. Rata-rata setiap tahun, 56 ton opium mentah masuk ke Jawa secara resmi. Tetapi, opium yang masuk sebagai barang selundupan bisa dua kali lipat dari jumlah impor resmi itu.

Pada awal 1800, peredaran opium sudah menjamur di seluruh pesisir utara Jawa, dari B`tavia hingga ke Tuban, Gresik, Surabaya di Jawa Timur, bahkan Pulau Madura. Di pedalaman Jawa, opium menyusup sampai ke desa-desa di seantero wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta saja terdapat 372 tempat penjualan opium.

Pada masa itu, mengisap opium seperti menjadi ciri umum kehidupan kota dan desa. Opium dipasarkan bahkan sampai ke tengah masyarakat desa yang tergolong miskin. Pesta panen, misalnya, seringkali dibarengi dengan pesta candu. Bahkan dalam hajatan pernikahan, tak jarang tuan rumah menyediakan candu untuk para tetamu yang dikenal sudah biasa menghirup madat. Para pemimpin desa pun dijamu dengan cara ini.

Hampir di setiap desa ada pondok tempat mengisap opium. Orang Jawa membeli opium dengan duit yang didapat dari memeras keringat sebagai petani, pedagang, buruh, dan kuli perkebunan. Padahal, penghasilan seorang buruh pada 1885 rata-rata hanya 20 sen per hari.

Sementara itu, belanja opium rata-rata orang Jawa pada masa itu mencapai 5 sen per hari. Artinya, sekitar seperempat pendapatan dijajakan untuk opium. Diperkirakan, satu dari 20 lelaki Jawa mengisap opium hanya sebagai kenikmatan sesaat, tak sampai terjerat menjadi pecandu. Ibarat kata, kedudukan opium pada masa itu mirip dengan posisi rokok pada masa kini. Di kalangan kaum bangsawan, opium bahkan memberikan corak tertentu pada gaya hidup yang sedang berkembang. Opium dipandang sebagai piranti keramah-tamahan dalam kehidupan bermasyarakat. Di pesta-pesta kalangan atas, para tetamt pria disuguhi opium.

Di kalangan masyarakat Cina masa itu, mengisap opium malah bisa dikatakan sudah menjadi semacam ”kebudayaan”. Baik untuk kalangan yang tinggal di kota besar, maupun di kota kecil dan pedesaan. Para hartawan Cina menikmati opium di rumah mereka, atau di klub-klub opium yang bersifat eksklusif. Sedangkan Cina miskin mengisap opium di pondok-pondok opium umum, bersama penduduk setempat.

Para bandar opium yang ditunjuk Belanda pada umumnya juga orang Cina. Mereka diserahi tugas memproduksi dan menjalankan peredaran opium di dearah tertentu. Penunjukan ini dilakukan lewat lelang, yang berlangsung di pendapat kediaman resmi para bupati setempat. Ketika lelang berlangsung, berkumpullah para bupati, pejabat kolonial, dan para pedagang Cina.

Para bandar opium pada masa itu sekaligus merangkap ”opsir” Cina. Pangkat ini tidak ada hubungannya dengan dunia kemiliteran, meskipun pangkat itu mulai dari ”luitenant” (letnan), ”kapitein” (kapten), sampai ”mayoor” (mayor). Para ”opsir” ini hanya ditugasi memimpin komunitas Cina di kota tertentu. Bandar opium terbesar adalah Mayor Oei Tiong Ham dari Semarang yang kemudian menjadi lebih terkenal sebagai “Raja Gula”.

Oei Tiong Ham menjadi bandar hingga tahun l910. Mereka mengenakan pakaian kebesaran, lengkap dengan lambang kekuasaan dan pengawalnya. Banyak yang dipertaruhkan di meja lelang. Bagi residen Belanda, penawaran tertinggi berarti sumbangan melimpah akan masuk ke pundi-pundi pemerintah. Hal ini ditafsirkan sebagai sebuah keberhasilan pemerintah. Sebab, pajak opium dijadikan alat ukur bagi kemakmuran wilayah.

Nilai pajak dalam lelang biasanya sangat menakjubkan. Pajak bandar opium di Semarang pada 1881 yang mencapai 26 juta gulden. Pendapatan dari penjualan opium ini telah menyumbang 15% dari total pendapatan pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1920-an yaitu hampir 30 Juta Gulden. Angka ini melebihi pendapatan dari ekspor perkebunan Kina.

Pendapatan dari opium ini banyak membantu keuangan pemerintah Kolonial Belanda pada masa resesi ekonomi. Dari pajak yang dikutip dari para bandar opium ini saja, pemerintah kolonial Belanda sudah mampu membayar gaji seluruh pegawainya di Hindia Belanda. Bahkan banyak kantor Belanda, termasuk kantor Gubernur Belanda, yang kini menjadi istana, sebagian dananya diperoleh dari pajak opium.

Peredaran dan penggunaan narkotika di Indonesia masa kini, juga menggelisahkan. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Heru Winarko pernah menyebut ada peningkatan sebesar 0,03 persen peredaran narkoba pada tahun 2019 di banding tahun sebelumnya. Ujar Heru rentang usia yang paling banyak menggunakan narkoba adalah usia 15-65 tahun. Menurutnya, saat ini pengguna narkoba di Indonesia sudah menembus angka tiga juta orang. “Lebih kurang jumlahnya 3.600.000 yang menggunakan (narkoba) di Indonesia ini,” kata Heru usai menghadiri pertemuan dengan Menkopolhukam Mahfud MD di Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2019).

Estimasi kerugian ekonomi dari narkoba adalah Rp74,4 triliun. Begitu menurut anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9) pada tahun 2018. Tapi menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Februari 2018 angkanya lebih besar lagi, yakni bias mencapaien Rp 135 triliun. Perkiraan ini didasarkan pada perhitungan illegal drugs trafficking, yang menyatakan nilainya bisa capai 1 persen dihitung dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB).

Boleh jadi nilai peredaran narkotika lebih besar lagi, karena estimasi kerugian Negara terbesut hanya didasarkan pada kasus penyelundupan yang berhasil diungkap. Atau hanya bagaikan puncak gunung es yang tampak di permukaan, sementara yang tersembunyi di dalam laut jauh lebih lebih besar.

Ada aksioma dalam kriminologi, bahwa suatu kejahatan – seperti peredaran narkotika – akan meluas biala ada keterlibatan oknum aparatur Negara, khususnya aparatur yang menangani kejatahan itu sendiri.

Pola pengendalian peredaran narkotika di Indonesia masa kini, kurang lebih sama dengan di zaman Belanda. Bedanya cuma tipis. Di zaman Belanda keterlibatan pejabat pemerintah adalah terang-terangan, karena opium dilegalkan. Sekarang, jejak aparatur negara cuma tidak terang-terangan, tetapi baunya sungguh menyengat.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.