Utang RI Meningkat

oleh
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (tengah) dan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan (kiri) menghadiri Sidang Tahunan MPR 2018 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/8). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Tercatat, jumlah utang pemerintah terus membengkak. Menkeu minta tidak perlu cemas.

Total utang pemerintah pusat hingga akhir Juli 2018 mencapai Rp 4.253,02 triliun, meningkat 12,51 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 3.779,98 triliun.  Secara rinci, utang tersebut berasal dari pinjaman dan surat berharaga negara (SBN). Adapun pinjaman tersebut berasal dari luar negeri sebesar Rp 779,71 triliun atau tumbuh 6,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 5,79 triliun atau tumbuh 48,28 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia per akhir Juli 2018 yang sebesar Rp 14.302,21 triliun, maka rasio utang pemerintah pusat tersebut mencapai 29,74 persen terhadap PDB, menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 29,79 persen terhadap PDB. Adapun rasio utang tersebut masih dalam batas aman, karena di bawah 60 persen terhadap PDB, sesuai dengan UU Keuangan Negara.

Selain itu, utang tersebut juga berasal dari surat berharga negara (SBN) yang sebesar Rp 3.467,52  triliun atau tumbuh 16,18 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

SBN tersebut masih didominasi oleh denominasi rupiah, yakni sebesar Rp 2.674,52 triliun, tumbuh 13,09 persen. Sementara SBN yang berdenominasi valas mencapai Rp 793,01 triliun atau tumbuh 16,61 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dengan meningkatnya nominal utang tersebut, pemerintah semakin berhati-hati dalam mengelola utang. Dengan berprinsip, setiap rupiah yang diperoleh, baik itu melalui pinjaman maupun SBN, harus dapat dimanfaatkan untuk membiayai belanja pembangunan yang menghasilkan manfaat lebih besar dari biaya utangnya.  “Manfaat tersebut tidak hanya dari sisi finansial, namun juga manfaat ekonomis yang dampaknya dirasakan secara tidak langsung atau outcome dan dalam jangka panjang,” ujar Sri Mulyani di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa 14 Agustus 2018.

BACA JUGA :  Dikonfirmasi Soal Namanya Disebut Terima Rp2,5 Miliar dalam Kasus Korupsi BKKBI Tulungagung, Gus Ipul Pilih Bungkam
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) bersama Dirjen Anggaran Kemenkeu Askolani (kanan) memberikan keterangan pers mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (27/7). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Sementara itu, pembiayaan utang hingga akhir Juli 2018 sebesar Rp 205,57 triliun atau 51,49 persen terhadap target yang sebesar Rp 399,22 triliun. Realisasi tersebut menurun 30,64 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Adapun pembiayaan dari SBN mencapai Rp 221,94 triliun atau tumbuh 53,54 persen dari target yang sebesar Rp 414,52 triliun, menurun 27,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Selain itu juga berasal dari pinjaman (neto) sebesar negatif Rp 16,37 triliun atau 108,47% dari target.

Namun demikian, keseimbangan primer hingga akhir Juli ini kembali mencatatkan defisit sebesar Rp 4,9 trilun. Padahal hingga akhir Juni 2018, keseimbangan primer tercatat positif Rp 10,045 triliun atau 0,01 persen terhadap PDB. Artinya, pemerintah memiliki kemampuan untuk membayar bunga utang dari pendapatan negara selama semester 1 2018.

Defisit keseimbangan primer hingga akhir Juli 2018 itu mengalami tren perbaikan dibandingkan tiga tahun sebelumnya yang defisit sebesar 79,1 triliun pada 2017 dan Rp 140,2 trilun pada 2016.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

“Juli ini keseimbangan primer Rp 4,9 triliun defisit, ini pertama kali (single digit) dan lebih kecil dari tahun lalu yang  Rp 79,1 triliun. Jadi ada improvement yang luar biasa. Terkontraksi hampir 94%,” jelasnya.

Keseimbangan primer yang masih defisit itu mengartikan pemerintah masih membayar bunga utang dengan menggunakan utang. Pinjaman dalam negeri (neto) yang terealisasi hingga akhir Juli 2018 sebesar negatif Rp 80 miliar, yang seluruhnya merupakan pembayaran cicilan pokok pinjaman dalam negeri. “Negatifnya realisasi pinjaman dalam negeri karena penarikan pinjaman dalam negeri tersebut lebih kecil dari pembayaran cicilan pokok pinjaman dalam negeri,” paparnya.

Adapun penarikan pinjaman dalam negeri hingga akhir Juli 2018 sebesar Rp 429,9 triliun, sementara pembayaran cicilan pokok pinjaman dalam negeri sebesar negatif Rp 51 miliar.

Di sisi lain, pembiayaan utang dari pinjaman luar negeri hingga akhir Juli lalu negatif Rp 16,29 triliun. Angka ini tumbuh 44,52 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal ini lantaran penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp 23,2 triliun lebih kecil dibandingkan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar negatif Rp 39,52 triliun.

Utang yang besar menjadi perhatian Ketua MPR Zulkifli Hasan, dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR tahun 2018 dia menyinggung soal beban cicilan utang yang harus dibayarkan pemerintah, yakni sebesar Rp 400 triliun pada 2018 ini. Hal tersebut menurutnya menjadi salah satu tantangan ekonomi Indonesia. “Dari sisi rasio utang, beban kita memang masih di kisaran 30 persen. Tapi saya ingin mengingatkan untuk tahun 2018 ini cicilannya saja mencapai Rp 400 triliun. Itu setara dengan 7 kali dana desa dan 6 kali dana kesehatan,” katanya di Gedung Parlemen, di Jakarta, Kamis 16 Agustus 2018.

BACA JUGA :  Sengketa Pilpres 2024 di MK, Yusril Disebut Nekad Kumpulkan Pengacara Gagal

Menurutnya, pemerintah diminta menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah krisis sejak dini. “Ini penting dalam kerangka menjaga ketahanan ekonomi,” ujar Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Zulkifli Hasan meminta pemerintah melakukan pengetatan prediksi-prediksi perekonomian secara cermat, terukur, dan akuntabel. Di antaranya mengenai nilai tukar rupiah dalam perekonomian global, penguatan-penguatan di sektor industri, pembatasan arus impor, serta peningkatan daya saing komoditas dan peningkatan daya ekspor.

MPR menurut Zulkifli, mensyukuri penurunan Gini Ratio yang dicapai oleh pemerintah dari 0,41 menjadi 0,39 saat ini yang terjadi akibat turunnya pendapatan masyarakat kelas atas ketimbang naiknya pendapatan masyarakat kelas bawah.  “Yang sangat perlu diperhatikan adalah golongan miskin dan hampir miskin masih sangat besar jumlahnya. Golongan ini sangat rentan terhadap perubahan harga,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, pemberdayaan ekonomi kecil dan mikro perlu terus dikembangkan, di antaranya melalui fasilitas kredit, fasilitas produksi dan pasar, termasuk bantuan pemasaran dan teknologi agar mereka tumbuh dan berkembang. Kesempatan berusaha dari kebijakan perluasan pembangunan infrastruktur harus didistribusikan secara luas ke daerah melalui usaha swasta besar, menengah, dan kecil.

 

IIEN SOEPOMO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.